.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Kilau Emas Poboya yang “Membutakan”

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

PANAS yang membakar kulit tak menghalangi para penambang emas tradisional di Dusun Vatutempa, Kelurahan Poboya, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah  untuk terus mengayungkan martil atau memahat bebatuan cadas. Bagi para penambang yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang datang dari luar pulau itu, emas memilik daya tarik tersendiri yang sulit dihindari ketika silaunya menerpa mata dan nilainya yang menebalkan kantong.

Ribuan warga datang berduyun-duyun mengeruk emas di wilayah tersebut. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pertambangan setempat, kandungan emas yang terdapat wilayah yang sebelumnya sudah dikontrakkan kepada pemodal asing itu bisa mencapai ribuan ton yang terpendam dalam bebatuan di bukit-bukit cadas.

Tak kurang dari sekitar 45 hektar lahan yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat itu kini meranggas akibat penggalian dan pemahatan gunung-gunung batu di dalamnya. Ratusan kilogram cairan kimia tertumpah akibat proses penangkapan emas melalui penggilingan-penggilaingan warga.

Penelitian yang dilakukan oleh individu dan Dinas Kesehatan setempat tiga tahun terakhir menyebutkan, kawasan itu telah tercemari kandungan kimia Sianida dan Mercury yang sudah di ambang batas. Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, udang kecil yang ditangkap nelayan di sekitar pantai Teluk Palu yang menjadi pembuangan limbah pengolahan emas itu, kini telah terkontaminasi zat mematikan itu.

Ini juga menjadi peringatan serius bagi warga yang bermukim di sekitarnya, karena suplai air bersih bagi penduduk di ibukota Palu berasal dari kawasan tersebut.

Kini, meski pemerintah daerah setempat menyadari dampak lingkungan dari pertambangan emas rakyat itu, namun aktivitas pertambangan masih tetap berjalan. Kilau emas telah membutakan mata-mata para pengambil kebijakan akan kelansungan hidup anak cucu mereka nantinya. ***

Naskah dan Foto: Basri marzuki

Sekolah Daun di Puncak Topesino

Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki

WAKTU sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita, tapi Indrawati Sambow (35) belum juga muncul. Rizal (32) dan Arjon (29) sesamanya guru bantu sudah tak sabar lagi. Keduanya mulai membayangkan perjalanan yang bakal melelahkan, karena terik matahari pasti akan membakar tubuhnya saat menyusuri jalan setapak menuju puncak gunung Topesino.

Di puncak gunung itu, sedikitnya terdapat 48 KK bermukim. Mereka nyaris terisolasi dari dunia luar karena tak ada satu pun sarana transportasi yang bisa digunakan untuk mencapainya selain berjalan kaki. Kemiringannya yang rata-rata lebih dari 45 derajat membuat siapapun selalu berpikir untuk melakukan perjalanan dari dan menuju dusun bernama Topesino yang masih berada di wilayah Desa Mantikole, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Tepat pukul 07.30, Indrawati akhirnya muncul juga. Mereka bertiga menyusuri jalan setapak berliku yang terus mendaki. Sesekali ketiganya terlihat berhenti untuk beristirahat, menyeka keringat dan meneguk air putih yang dibawa dari rumah masing-masing. Sesekali pula terdengar senandung merdu dari bibir Indrawati, mungkin saja seperti itulah dia menghibur dirinya melewati panggilan tugas.

Indrawati adalah guru bantu, sedangkan Rizal dan Arjon adalah tenaga honorer yang tamatan SMU. Sejak dua tahun terakhir, ketiganya mendedikasikan diri untuk menjadi tenaga pengajar kelas jauh SD Inpres Mantikole di Dusun Tompesino yang letaknya di puncak gunung tersebut.

Sebagai tenaga lepas, mereka rata-rata dibayar Rp.300.000 per triwulan untuk pengabdiannya itu. Ketiganya menetap di kaki gunung Topesino yang jaraknya tidak lebih dari lima kilometer dari puncak gunung itu. Jaraknya memang tidak seberapa, tapi setiap kali menuju sekolah mereka membutuhkan waktu tercepat sampai tiga jam karena medan yang terus mendaki dan berliku. “Pernah ada yang datang ke sekolah kami, mereka butuh waktu sampai 5 jam,” ujar Indrawati bangga, seolah menyatakan dirinya jauh lebih cepat dari orang yang tidak terbiasa melalui medan tersebut.

Tepat pukul 10.30, ketiganya sampai di sebuah pondok dengan sebuah bale-bale terbuat dari papan kasar. Pondok itu beratap rumput-rumput kering yang dibuat sedemikian rupa agar tidak tembus hujan. Berlantai tanah dengan bekas-bekas sisa pembakaran dan sebuah lubang agak besar di tengahnya. Di depan lubang itu tergantung sebuah papan tulis putih. “Inilah sekolah kami,” kata Indrawati.

Tampakan sekolah itu sudah berubah katanya, sebelumnya punya dinding dari daun-daun yang dianyam sedemikian rupa, makanya pula sebelumnya lebih popular disebut ‘Sekolah Daun’. “Tapi dinding itu sudah dilepas karena gelap,” imbuhnya.

Sekolah tidak langsung digelar, Indra bersama rekannya harus mendatangi rumah-rumah para muridnya untuk mengajaknya ke sekolah. Hanya sebagian diantara 20 orang muridnya yang memiliki seragam putih-merah, itupun bisa diadakan setelah warga kaki gunung menyumbang anak-anak tersebut dengan pakaian bekas.

Kumandang lagu Indonesia Raya terdengar dari gubuk yang disebut sebagai sekolah itu menandai dimulakannya kegiatan belajar. Indrawati memandu anak-anak bernyanyi penuh semangat. “Hari ini kita akan melanjutkan pelajaran kemarin,” kata Indra di depan kelas. Secara bergantian, Rizal dan Arjon juga membimbing anak-anak itu. Sebagian diantaranya sudah mahir membaca, namun sebagian lagi baru bisa mengenal huruf.

Sudah dua tahun terakhir ini ketiganya mengabdi untuk sekolah kelas jauh tersebut. Letih memang, tapi itulah pengabdian yang bisa dilakukannya untuk masa depan anak-anak bangsa, meski harus digaji Rp.100.000 per bulan. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Cap Darah Untuk Lingkungan

Ketua-ketua adat mencapai kesepakatan. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

GEMA pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 120 kilometer ke timur Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.

Beberapa waktu lalu, sebuah kegiatan adat digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang ketua adat yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerap kali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan adat yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesame manusia dan kepada lingkungan. Salah satu poinnya adalah, siapa-siapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa-siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hkum adapt. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Masih Ada Harapan

Ihsan (7 tahun) mendekap alat baca tulisnya di rumahnya. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 07.00, tapi Ihsan (7) sudah muncul di depan pintu Sekolah Terpadu Permata Hati di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Itu adalah rutinitas Ihsan sejak dua tahun terakhir ini. Ia dideteksi menderita autis sejak berusia 9 bulan. Menu paginya sebelum belajar adalah dibujuk. Yah… Ihsan harus dibujuk oleh gurunya kerena ia tidak selalu siap untuk belajar.

Kerap kali guru harus bergulat di kelas, apalagi jika Ihsan benar-benar sedang tidak mood. Mengamuk sudah menjadi hal biasa dan kepiawaian guru sungguh dibutuhkan. Tak jarang Ihsan harus dibelai, tapi tak jarang pula kakinya harus dijepit oleh kedua kaki gurunya jika tetap saja tidak bisa tenang.

Gejala umum yang dihadapi anak penderita autis adalah sulitnya berkonsentrasi terhadap suatu hal. Ia memiliki dunianya sendiri. Kelainan neurobiologis yang dibawanya sejak lahir memisahkannya dengan dunia luar.

Ihsan memiliki karakter yang berbeda dengan kebanyakan penderita autis lainnya. Ia begitu menggandrungi musik, suatu karakter yang sangat langka. Musik adalah dunianya, dan semuanya harus terbangun dengan dunia yang ada di kepalanya itu.

Suatu kali, ia diminta gurunya menuliskan kata “kursi”, tapi yang ditulisnya justru kata “Bon Jovi, Backstreet, Westlife”. Suatu kali pula ia diminta menyebutkan benda-benda yang ada di depannya, tapi justru senandung “Akhirnya Aku Menemukanmu” milik Naff yang meluncur dari bibirnya.

“Tak seorang pun orang tua yang menghendaki hal ini, tapi jika itu menimpa, kita tak boleh berputus asa atau menyalahkan siapa-siapa. Yang harus kita lakukan adalah mengenali kebutuhannya dan membantunya,” kata Ir Fitriani Kartawan MSi, pimpinan Sekolah Terpadu Permata Hati.

Gejala umum yang dapat dikenali pada anak autis seperti ini antara lain; senang membenturkan kepalanya sendiri jika sedang marah, sulit mengartikulasikan kata-kata, sulit berkonsentrasi pada suatu hal yang tidak disenangi. “Kadang juga jika dipanggil, ia seolah tidak mendengarkan, atu mendengar tapi tak beranjak dari tempatnya,” ungkap Fitriani.

Tapi Ihsan masih beruntung dibanding banyak anak penderita autis lainnya. Orang tuanya sangat menyadari kebutuhan khusus bagi anaknya. Sekolah terapi adalah sarana untuk membantu Ihsan memahami bahwa ada dunia luar selain dirinya. Pengertian yang mendalam untuk membantunya terus ditunjukkan. Di lingkungan rumah, Ihsan nyaris tak berbeda dengan anak-anak sebayanya.

Orang tua Ihsan bersyukur, melalui terapi khusus itu, lambat tapi pasti ia mulai menyadari dunia luar tersebut. Ihsan mulai paham makna lingkungan dan keteraturan yang ada di dalamnya.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0