Description
TITAH raja bagi masyarakat adat Batui yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Banggai adalah amanah yang harus dipegang teguh, wajib dilaksanakan. Ia menjadi simbol kepatuhan, bakti, dan kesetiaan.
Itu pula yang mengilhami sehingga upacara adat Malabo/Malabot Tumpe yang telah berlangsung sejak 439 tahun lalu masih dapat disaksikan hingga kini.
Ritual Malabo Tumpe adalah tradisi mengantarkan telur burung maleo (Macrochepalon maleo) pertama kepada raja yang berada di Banggai Laut yang secara geografis berada di pulau terpisah. Sedangkan Malabot Tumbe adalah kebalikannya, jika telur sudah diantarkan, giliran menjemput telur tersebut untuk diantar ke istana raja atau Karaton.
Tradisi ini berawal pada sekitar 1580 ketika tampuk kerajaan dipegang oleh Maulana Price Mandapar, putra Raja Banggai sebelumnya-Adi Soko dengan Kastela-perempuan berdarah Protugis di Ternate.
Saat itu raja berangkat ke Jawa untuk urusan pemerintahan di Kediri. Ia membawa sepasang burung maleo dengan harapan dapat hidup di Jawa dan dengan demikian raja dapat pula menikmati telurnya.
Alhasil, burung maleo tersebut tidak bisa berkembang biak. Raja kemudian mengembalikan telur itu ke keluarganya yang berada di Banggai. Sekali lagi, burung tersebut tidak bisa berkembang biak.
Raja lalu memerintahkan agar burung maleo yang menjadi simbol kerajaan Banggai dipulangkan ke Batui, karena di sanalah habitat asli burung tersebut.
“Kalau maleo ini bertelur, tolong telur pertamanya dibawa ke kerajaan Banggai,” begitu titah dikeluarkan oleh raja.
Sejak itu, amanah raja terus dijalankan dalam bentuk upacara adat Tumpe setiap tahunnya. Prosesi adat itu dimulai dengan mengumpulkan telur maleo. Satu per satu kepala keluarga mendatangi rumah adat untuk menyetorkan telur maleo pertamanya. Jumlah telur maleo yang dikumpulkan itu menunjukkan jumlah kepala keluarga yang menghuni wilayah Batui.
“Tapi itu dulu, sekarang telur maleo makin susah didapatkan sehingga ritualnya lebih simbolistik, sekitar 100-an butir saja,” ungkap Jursan, salah seorang warga adat Batui.
Telur yang sudah terkumpul dibungkus dengan daun Nibong-sejenis tumbuhan palma. Telur itu lalu dibawa oleh sejumlah warga adat diiringi bebunyian gendang dan gong, berbaris menuju perahu yang sudah menunggu di pelabuhan.
Dalam perjalanan ke pulau Banggai tempat raja berdiam untuk mengantarkan persemmbahan tersebut, perahu berhenti di pulau Peling untuk mengganti pembungkus telur. Pembungkus telur yang lama dihanyutkan ke laut sebagai penanda kepada keluarga raja di seberang bahwa telur sedang dalam perjalanan.
Di Pulau Banggai, prosesi penjemputan telur juga dilaksanakan. Sejumlah prajurit raja menunggu di dermaga dan begitu telur tiba langsung diarak menuju istana atau Karaton.
Raja menerima telur itu dan prosesi syukuran pun diselenggarakan bersama warga di sekitar kerajaan. Prosesi itu juga menandai bahwa telur maleo sudah dapat disantap oleh seluruh rakyat Banggai.
“Ini adalah amanah raja kami yang harus terus kami laksanakan. Beginilah kami menunjukkan bakti kepada raja, karena kesetiaan di atas segalanya,” tegas Jusran.
Video dan naskah : Basri Marzuki
Reviews
There are no reviews yet.