.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Mengukuhkan Seni dan Budaya dalam Lalove

Mengukur bambu untuk pembuatan lalove. bmzIMAGES/Basri Marzuki

TIDAK ada catatan sejarah tentang kapan alat musik tiup bernama Lalove ini mulai digunakan oleh masyarakat to Kaili. Kaili adalah etnis mayoritas yang mendiami sebagian besar lembah Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

Yang pasti, pada setiap ritual adat terutama upacara penyembuhan yang disebut “Balia”, alat musik tiup ini selalu hadir bersama gimba (gendang) yang mengiringi upacara tersebut.

Di zamannya, lalove begitu sakral. Untuk membuatnya harus melalui prosedur adat yang sarat dengan unsur magic. Dimulai dengan pemilihan bambu, melepaskan ranting-rantingnya, hingga memotong ruas dan menentukan titik-titik lubangnya dilakukan dengan mantra.

Pemanteraan itu sesuai dengan maksudnya yakni ketika ditiup atau dibunyikan akan memiliki keuatan supra natural untuk memaggil roh. Dalam ritual penyembuhan Balia, peran lalove sangat penting karena menentukan seperti apa roh itu bisa masuk ke tubuh seeorang yang sedang dalam proses penyembuhan. Karena itu pula, peniup lalove adalah mereka yang memiliki keahlian dan kekuatan natural itu pula.

Namun itu dulu, kini Lalove tidak lagi sekadar mengiringi ritual penyembuhan. Beberapa ritual atau bahkan drama seni, tari kreasi dan juga musik kontemporer pun memanfaatkan alat musik khas yang terbuat dari buluh (bambu) pilihan ini.

Perjalanan waktu mengubah unsur magic yang melekat dalam lalove. Ia bisa diproduksi secara massal dengan mengesampingkan unsur magic tersebut. Secara ekonomis, Lalove bukanlah unit bisnis yang menggiurkan, pertama karena pasarnya sangat terbatas di kalangan tertentu, kedua tidak banyak orang yang mau menggelutinya. Itu pula alasan mengapa mendapatkan Lalove terasa begitu sulit.

Namun di pelosok Kabupaten Sigi, tepatnya di Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, masih ada yang peduli dengan pelestarian alat musik tiup khas ini. “Bukan unsur ekonomisnya, tapi lebih kepada bagaimana agar alat musik ini tetap ada dalam khasanah seni dan budaya kita, to Kaili,” ujar Yayan Kololio, perajin Lalove itu.

Menurutnya, tidak cukup sulit untuk membuat Lalove. Tiga jam baginya cukup untuk bisa menyelesaikan satu unit Lalove. “Tapi itu tadi, unsur magicnya kita kesampingkan. Kecuali kalau membuat Lalove khusus, butuh waktu yang lebih panjang,” sebut Yayan.

Selama tiga tahun menggeluti kerajinan Lalove itu, cukup memadai Lalove yang bisa dihasilkan. Umumnya Lalove itu dibuatkan berdasarkan pesanan, seperti anak-anak sekolah yang dalam kurikulumnya mengajarkan tentang alat music tradisional. Selain itu beberapa sanggar seni kerap kali mengorder untuk keperluan sanggarnya.

Suatu kebanggaan menurutnya karena meski jauh di pelosok, namun suara Lalove itu banyak pula diminati oleh orang di luar etnis to Kaili. Lalove yang dibuatnya bahkan sudah menjamah beberapa seniman di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Makassar, Semarang dan Jawa sebagiannya.

Pengetahuan membuat Lalove diakuinya didapatkan secara otodidak. Ia mengaku tidak memiliki silsilah pembuat atau pengguna Lalove. “Ini spontan saja, saya mendengar bunyi Lalove dalam sebuah upacara Balia dan saat itu saya tergerak untuk mencoba membuatnya. Itulah awalnya,” aku Yayan.

Ia berharap ke depan akan banyak anak muda yang menekuni pembuatan Lalove tersebut terkait dengan regenerasi. Karena menurutnya, jika semua berpaling dari kekhasan seni dan budaya lokal, entah apa jadinya to Kaili nantinya. Bisa jadi hanya tersisa cerita saja. ***

Teks dan Foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0