.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Action The Boys Save the Hawksbill Turtle

Palu, Central Sulawesi, Indonesia (October 27): Two boys pushed a Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata) down to sea on the Kampung Lere Beach, Palu, Central Sulawesi, Indonesia on 27 October 2019. The rare and protected turtle was released by the boy This is after a fisherman catches him when he catches fish in the sea and then leaves it tied to the hot beach. The children then came and felt sorry, then released him back to the sea. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

A hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata) was caught by a fisherman while netting fish in the sea on October 27, 2019. The turtle was then taken to shore by the fisherman and tied the turtle’s legs with a rope to avoid running away.

A group of children suddenly came to the beach and watched the rare and protected turtle torture. His legs were bound and in a very hot heat. The hot temperature at that time in Kampung Lere Beach, Palu, Central Sulawesi, Indonesia reached 37 degrees Celsius.

Unbeknownst to the fishermen who caught the turtle, some children then took the initiative to dig sand near the turtle so that it could collect water for the turtle. The children also watered the turtle’s head so it would not overheat.

Meanwhile, other children try to find broken bottles so they can break the rope that ties the turtle’s legs. After trying long enough the rope was finally broken.

Without further thought, the children then pushed the turtle with all their might to return to the sea.

Turtles that are about 70 centimeters long and 50 centimeters wide are heavy enough to be pushed, but then the cubs take turns lifting until they finally reach the sea.

The children were happy because after reaching the sea, the turtle could finally swim again and return to their habitat.

Text & Photos: Basri Marzuki
============

Seekor Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) ditangkap seorang nelayan ketika menjaring ikan di laut pada 27 Oktober 2019. Penyu itu kemudian dibawa ke pantai oleh nelayan tersebut dan mengikat kaki penyu itu dengan tali agar tidak melarikan diri.

Sekelompok anak-anak tiba-tiba datang ke pantai itu dan menyaksikan penyu yang langka dan dilindungi undang-undang itu sangat tersiksa. Kakinya terikat dan dalam keadaan panas yang sangat menyengat. Suhu panas saat itu di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia mencapai 37 derajat celcius.

Tanpa sepengetahuan nelayan yang menangkap penyu itu, beberapa anak kemudian berinisiatif menggali pasir yang ada di dekat penyu itu agar dapat menampung air bagi penyu. Anak-anak juga menyiram kepala penyu itu agar tidak kepanasan.

Sementara itu, anak-anak lainnya mencoba mencari pecahan botol agar bisa memutuskan tali yang mengikat kaki penyu itu. Setelah berusaha cukup lama akhirnya tali pengikat tersebut berhasil diputuskan.

Tanpa fikir panjang lagi, anak-anak itu lalu mendorong penyu itu sekuat tenaga agar bsia kembali laut.

Penyu yang berukuran panjang sekitar 70 centimer dan lebar 50 centimeter cukup berat untuk didorong, namun kemudian anak-ank bergantian mengangkat hingga akhirnya bisa mencapai laut.

Anak-anak itu gembira karena setelah mencapai laut, penyu itu akhirnya bisa berenang lagi dan kembali ke habitatnya.

Text & Photos: Basri Marzuki

Bertaruh Untuk Kelangsungan Hidup

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

BIBIR Pak Ahmad sumringah ketika kami tiba di dermaga Pulau Pasoso. Pulau ini terletak di selat Makassar yang dapat dijangkau sekitar 40 mil laut dari desa labean kabupaten donggala, Sulawesi tengah atau dengan jarak tempuh 3 jam dengan perahu motor 4 tenaga kuda. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil berlarian ke dermaga melihat kedatangan kami. Tatapan anak-anak itu sangat tajam, sesuatu yang aneh dilhat pada diri-diri kami. Tatapan tu beralasan karena selama ini keluarga Pak Ahmad sehari-hari hanya mengitari pulau dengan luas tidak lebih dari 64 hektar itu.

Pak Ahmad adalah sentral kekuasaan di pulau yang hanya dihuni keluarga besarnya itu. Seorang istri, 15 orang anak dengan rentang usia tertua berusia 26 tahun dan termuda 2 bulan, plus tiga menantu dan 5 cucu adalah wajah-wajah yang berada dalam distrik kekuasaannya. Pak Ahmad menjadi raja bagi pulau itu, menjadi pengawas bagi kelangsungan hidup sejumlah spesies dan lebih jauh lagi menjadi decision maker bagi setiap persoalan yang muncul ditengahnya.

Sejak turun temurun Pak Ahmad mendiami pulau tempat bertelurnya penyu hijau yang langka itu. Keberadaanya tidak digugat pemerintah setempat karena dia punya andil dalam pelestarian lingkungan sekitarnya. Ia sangat berperan bagi pelarangan nelayan menangkap ikan menggunakan media peledak atau bom, ia pula mengelilingi pulau setiap hari kalau-kalau ada yang merusak terumbu karang di sekitarnya.

Suatu hari yang lampau, Pak Ahmad bahkan menjadi pioneer dalam usaha pelestarian penyu hijau. Ia menjadi sosok penyelamat setelah menangkarkan bayi-bayi penyu hijau sebelum di lepas ke laut bebas. Ribuan ekor bayi penyu berenang dengan riang ketika usia bertahannya dicapai dan dapat mempertahankan diri dari ganasnya hukum rimba yang berlaku di laut bebas.

Kini dalam keterbatasan dan gerogotan usia, pak Ahmad beserta keluarganya tetap bertahan di pulau yang kerap menjadi persinggahan bagi nelayan lainnya yang kemalaman mencari ikan di laut. Sumberdaya yang ada disekitarnya dikelola berdasarkan kearifan local yang dipercayainya. Anak-anaknya pun tumbuh bersama alam laut. Sayangnya, tak satupun dari 15 anaknya yang bisa mengecap nikmatnya pendidikan formal.

Pak Ahmad terus bertahan dalam hembusan angin laut. Mampukah dia bertahan di tengah gemerlapnya kemajuan teknologi di pulau seberang sana? Hingga saat ini Pak Ahmad masih terus bertaruh.***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0