.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Mengucap Syukur dengan Ritual Vunja

Ritual segera dimulakan. Pemuka adat menyiapkan sesembahan di awah pohon bambu di Desa Binangga, Kecamatan marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Di tengah rerimbunan pohon kelapa di sebuah kebun di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkumpul ratusan warga. Mereka bersama para pemuka adat di wilayah itu sedang menggelar ritual adat bernama Vunja.

Vunja adalah ritual adat sebagai pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Ritual itu dilaksanakan oleh etnis Kaili, etnis asli dan mayoritas yang mendiami lembah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutung di Sualwesi Tengah.

Desa itu memang baru saja melaksanakan panen raya. Tahun ini hasil panen cukup melimpah. Tanaman padi tumbuh subur dan cukup banyak memberikan hasil. Tanaman palawija pun begitu, umbi-umbian dan kacang-kacangan memenuhi lumbung-lumbung milik warga di halaman mereka. Tahun ini hasil panen cukup banyak. Rasa suka ria terlihat di wajah-wajah penduduk yang bermukim di desa tersebut.

Pemuka adat memiliki alasn yang kuat untuk menggelar ritual yangs udah turun temurun dilakukan itu.

Seekor kambing hasil patungan warga pun disembelih. Sesembahan lainnya berupa ketupat, penganan, dan bahan makanan disatukan dari warga yang secara sukarela membawanya dari rumah.

Gimba (gendang) pun mulai ditalu seiring dengan gerak tari para pemuka wadat yang mengelilingi pohon bamboo tempat mennggantungkan aneka persembahan. Mereka kompak, satu sama lainnya bergandengan tangan, melantukan Dadendate (nyanyian rakyat) dan pujian kepada Yang Maha Kuasa.

Ketua adat maju ke depan, menyatakan mantra dari bawah janur kuning yang merumbai di atasnya. Pekik warga tiba-tiba mengumandang, diikuti hysteria warga lainnya yang mengerumuni. “Terimalah ungkapan syukur kami atas pemberian dan perlindunganMU,” kata tetua adat itu dalam dadendate-nya.

Warga semakin merangsek ke dalam lingkaran penari menandai ritual tari Vunja segera berakhir. Dan, sontak warga tersebut berebut bahan makanan begitu ritual itu dinyatakan selesai.

Tepat pukul 06.00 Wita, atau di saat adzan maghrib akan berkumandang, ratusan warga itu kemudian berbondong-bondong pulang dengan wajah gembira. Mereka kini sudah bisa membuat acara keluarga, sunatan, pernikahan ataupun memperbaiki rumah, karena ritual Vunja baru saja usai dilaksanakan.

 

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Total Solar Eclipse 2016 in Mountains Matantimali

Sejumlah penari memainkan ritual Udok Dayak saat terjadi Gerhana Matahari Total (GMT) di pegunungan Matantimali, Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (9/3/2016). Ritual asal Suku Dayak Kalimantan Timur itu sengaja ditampilkan untuk memaknai terjadinya fenomena alam langka sekaligus sebagai tontonan bagi wisatawan yang memadati pegunungan tersebut guna menyaksikan GMT. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah penari memainkan ritual Udok Dayak saat terjadi Gerhana Matahari Total (GMT) di pegunungan Matantimali, Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (9/3/2016). Ritual asal Suku Dayak Kalimantan Timur itu sengaja ditampilkan untuk memaknai terjadinya fenomena alam langka sekaligus sebagai tontonan bagi wisatawan yang memadati pegunungan tersebut guna menyaksikan GMT. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Ritual Mpokeso & Mposuno

Dade ndate (nyanyian rakyat) terus dilantunkan oleh tetua adat mengiringi prosesi penyembelihan kerbau. (Foto: bmzIMAGEs/Basri Marzuki)

SETELAH 40 tahun, baru kali ini prosesi adat Mpokeso dan Mposuno kembali digelar di Banua Oge, yaitu rumah adat besar kediaman bangsawan. Mpokeso dan Mposuno adalah prosesi khitanan yang dilakukan kepada anak-anak bangsawan pada etnis Kaili, suku asli yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah. Mpokeso ditujukan kepada anak-anak perempuan dan Mposuna buat anak lelaki.

Prosesi itu menandai titik pertumbuhan seorang anak menjadi remaja. Kebahagiaan memasuki fase hidup baru itu dimaknai dengan penyembelihan kerbau yang kemudian dibagikan kepada warga sekitar dengan harapan, kemakmuran, kesehatan dan kebaikan akan menyertai pertumbuhan si anak yang akan dikhitan.

Prosesi diawali dengan pemasangan umbul-umbul di depan Banua Oge untuk memberitahukan kepada warga bahwa akan ada hajatan adat. Dilanjutkan dengan pemingitan yang berlangsung sehari penuh. Anak-anak yang akan dikhitan tak boleh keluar rumah. Pemingitan dilanjutkan dengan pemberian daun pacar seagai simbolisasi kesiapan dan kematangan dalam menjalani hidup berikutnya.

Tak sampai disitu, anak-anak yang akan dikhitan tersebut diusung mengelilingi persembahan kerbau yang nantinya daging kerbau itu diarak keliling kampung seraya membagi-bagikan kepada warga. Prosesi ini melambangkan sifat kedermawanan terhadap warga lainnya yang kurang mampu.

Ritual itu dilanjutkan dengan mandi kembang sebelum acara khtan dilakukan. Satu persatu anak tersebut bergiliran memasuki kelambu untuk dikhitan. Akhirnya, pembacaan doa keselamatan, semoga hari depan yang penuh tantangan akan dapat dilalui dengan baik dan mendapat berkah. Prosesi ini berlangsung tiga hari dan tiga malam penuh.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Balia, Ritual Penyembuhan Adat yang Kian Tergeser

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan mantra penyembuhan dimulai. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan 4 orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. 7 wanita dan 2 pria menari secara beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk. Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa setempat, Kaili.

Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit. Warga, etnis Kaili yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah, baik secara individu maupun berkelompok dapat menggagas upacara adat ini, terlebih jika upaya medis telah dilakukan namun tak kunjung sembuh juga. Prosesinya bisa berlangsung hingga 7 hari dan 7 malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.

Di masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat. Prosesinya dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara, mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa terdiri dari ayam, kambing, atau kerbau, tergantung berada di kasta mana yang punya hajatan. Tentu saja seluruhnya ditanggung oleh yang punya hajatan ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual.

Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantera-manteranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan. Tari balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.

Melelahkan, begitulah adanya. Prosesi adat yang berlangsung seminggu non stop itu sungguh menguras tenaga dan waktu serta materi. Tapi efektifkah dalam mencapai tujuannya, yakni penyembuhan? Dari sejak hadirnya upacara Balia ini oleh leluhur, warga setempat sangat meyakini efektifitasnya. Meski tidak sedikit dari mereka yang sudah terkooptasi paham modernism menganggapnya tak lebih dari situs budaya yang perlu dijaga agar tidak punah dari keragaman bangsa. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Memugar Kehidupan di Toro

SIANG itu cukup terik, tapi warga tetap berkerumun di sekitar rumah adat Lobo yang baru saja dipugar. Kegembiraan terlihat di rumah adat itu dengan jumbai-jumbai janur kuning yang menghias di setiap sisinya. Lantunan musik bambu tak henti-hentinya terdengar. Seekor kerbau hitam pun disembelih untuk menandai syukur tiada tara atas kembalinya Lobo yang asli. Rumah adat yang diharapkan memberi pencerahan kembali akan keapikan hidup.

Tetua adat mengambil tempat di pinggir tengah, lalu berjejer di sisi kiri dan kanan para pemuka adat yang berada di level bawahnya. Mereka mewakili seluruh komunitas adat yang berdiam di dataran Toro, sebuah wilayah yang masih menyimpan keunikan tertua penduduk asli Sulawesi Tengah beretnis Moma.

Tetua adat memberikan pesan-pesan dalam bahasa Kaili khas etnis Moma. Pesan itu sarat dengan kebajikan hidup, bukan hanya dalam kaitan hubungan sosial terhadap sesama manusia, tetapi juga dalam hubungan dengan lingkungan. Hidup adalah anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam, dan sepantasnyalah jika segala tindak tanduk mencerminkan rasa terima kasih kepada Tuhan dan alam.

Lobo menjadi lambang penjagaan integritas hidup, dia menjadi tempat bermufakat atas semua persoalan yang tumbuh dan berkembang bagi pemukim di sekitarnya. Di dalamnya tercermin kearifan lokal yang terus terjaga. Dengan harapan baru, mereka meletupkannya dengan syukur, santap siang bersama dan menari sakral raego sebagai wujud terima kasih. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Vunja Usai Panen

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Karnaval Ogoh-Ogoh

Salah satu ogoh-ogoh yang diarak pada Carnaval Ogoh-Ogoh yang dilaksanakan di Desa Tolai, Kecamatan Tolai, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kamis (22/3/2012). Carnaval yang digelar tersebut dalam rangka merayakan Tahun Baru Caka 1934 oleh umat Hindu Bali yang berdiam di daerah tersebut. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Salah satu ogoh-ogoh yang diarak pada Carnaval Ogoh-Ogoh yang dilaksanakan di Desa Tolai, Kecamatan Tolai, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kamis (22/3/2012). Carnaval yang digelar tersebut dalam rangka merayakan Tahun Baru Caka 1934 oleh umat Hindu Bali yang berdiam di daerah tersebut. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0