.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Menolak Lupa September Hitam

Seorang mahasiswa memasang spanduk pada aksi mimbar bebas Menolak Lupa September Hitam di depan Kantor DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (13/9/2024) malam. Mimbar bebas yang digelar Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Tadulako itu merupakan refleksi rentetan kasus kelam berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan menuntut keadilan dan penegakan HAM. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos) Universitas Tadulako (Untad) menolak lupa atas sejumlah peristiwa kelam sejarah perjalanan bangsa di bulan September di masa lampau.

Serangkaian peristiwa tragis terjadi saat itu dan meninggalkan luka mendalam. Rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi dan menimbulkan begitu banyak korban. Di antara persitiwa itu seperti tragedy 1965/1966, peristiwa Tanjung Priuk (1984), tragedi Semanggi (1999), pembunuhan Munir (2004), pembunuhan Salim Kanci (2015), reformasi dikorupsi (2019), hingga pembunuhan pendeta Yeremia (2020).

Peristiwa-peristiwa itu dirangkai dengan kata ‘September Hitam’.

Mahasiswa mengekspresikan menolak lupa itu dalam bentuk mimbar bebas yang digelar di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat (13/9/2024) malam. Puluhan mahasiswa hadir dengan kaos hitam, menyalakan lilin, dan bahkan berpuisi secara bergantian.

Musikalisasi puisi juga dilakonkan Kanan Merah Hijau Kiri. Lantang bersuara dalam drama puisi teaterikal.

“Menolak Lupa, September Hitam” begitu tulisan dalam spanduk yang diikatkan di pagar kantor DPRD Sulteng

Tak itu saja, orasi tentang keadilan bagi korban pelanggaran HAM juga dilakukan silih berganti. Mereka menggarisbawahi pentingnya penegakan HAM sebagai fondasi mendasar dalam menciptakan Masyarakat yang adil dan beradab.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Pertunjukan Tari Pamonte

SETIDAKNYA ada 11 remaja putri berlenggok di depan panggung utama Festival Danau Lindu yang digelar untuk kelima kalinya itu di Desa Tomado, Kecamatan Kulawi Kabupaten SIgi, Sulawesi Tengah, Kamis (5/9/2024) sore. 10 di antaranya mengenakan baju berwarna kuning, dan seorang lainnya yang berada di posi Tengah mengenakan baju berwarna hijau.

Tak sekadar mengandalkan warna baju yang cukup cerah, mereka juga dilengkapi dengan pernak-pernik tari untuk menggambarkan makna tari yang dilakokannya. Ada topi yang terbuat dari anyaman daun nipah yang dilingkar dengan sebilah bambu pipih. Topi ini khas dengan sebutan Toru. Ada pula keranjang atau bakul kecil terbuat dari sejenis rumput yang dianyam sedemikian rupa.

Penari yang dipentaskan oleh perwakilan Kecamatan Dolo Selatan ini cukup memukau, tidak semata karena gerakannya yang kompak dan gemulai, lebih dari itu, karena mereka sukses menggambarkan makna dari tari itu.

Tari Pamonte sudah ada dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Tengah sejak tahun 1957. Tarian ini diciptakan oleh salah seorang seniman yang juga putra asli daerah Sulawesi Tengah, tepatnya di Parigi Moutong, bernama Hasan. M. Bahasyuan.

Dari laman Warisan Budaya Tak Benda Kemnedikbud RI disebutkan, Tari Pamonte ini terinspirasi dari aktivitas dan kebiasaan para gadis-gadis Suku Kaili saat menyambut masa panen padi tiba. Karena pada zaman dahulu masyarakat Suku Kaili mayoritas berprofesi sebagai petani,maka biasanya mereka menyambut musim panen tersebut dengan gembira dan suka cita.

Dari kebiasaan itulah, Hasan. M. Bahasyuan mengangkat kehidupan masyarakat Suku Kaili tersebut menjadi sebuah karya seni yang indah dan dinamakan dengan Tari Pamonte.

Dalam versi lengkapnya, benda peralatan yang digunakan dalam memainkan Tari Pamonte antara lain Toru = tudung (topi) untuk menutup kepala di saat di sawah. Alu (nalu) atau alat menumbuk padi, bakul (bingga) = tempat padi dan padi (pae).

Tari Pamonte adalah penggambaran kehidupan masyarakat Suku Kaili pada saat musim panen padi tiba. Selain itu tarian ini juga menggambarkan kegembiraan dan ungkapan rasa syukur mereka atas panen yang mereka dapatkan. Rasa bahagia tersebut mereka lakukan dengan saling bergotong-royong dan bahu-membahu sehingga terlarut dalam semangat kebersamaan yang tinggi dan penuh suka cita.

Pamonte berasal dari bahasa Kaili Tara, yaitu Pomonte yang artinya penuai/menuai padi. Tarian tersebut menggambarkan suatu kebiasaan para gadis-gadis suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menuai padi pada waktu panen tiba dengan penuh suka cita, yang dimulai dari menuai padi sampai dengan upacara kesyukuran terhadap sang Pencipta atas keberhasilan panen.

Sebelum menuai setiap pekerjaan didahului oleh seorang Penghulu yang dalam bahasa Kaili disebut Tadulako. Tadulako pada tarian ini berperan sebagai pengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi kerumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis serta membawa beras ke rumah yang kemudian disusul dengan upacara selamatan yakni No’rano, Vunja, Meaju dan No’raego mpae yang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada upacara panen suku Kaili di provinsi Sulawesi Tengah.

Naskh dan Foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0