.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Setiawati, Harapan Tak Berujung

Setiawati terbaring lemas tak berdaya di bangsal rumah sakit.. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SETIAWATI, demikianlah nama gadis kelahiran 19 tahun lalu ini. Matanya menatap hampa ke arah langit-langit kamar Rumah Sakit Anutapura, Palu. Ia lemas, tak berdaya, tergolek dengan hanya mengandalkan kasih sayang ibu dan bapaknya. Sudah dua pekan Setiawati terbaring di ruang perawatan itu. Tapi bukan kali itu saja, sebelumnya dia juga pernah mengecap panasnya ruang perawatan di Puskesma sekitar rumahnya di Tawaili, Palu.

Ia hengkang dari tempat perawatannya yang pertama karena sakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, malah makin berlarut-larut. Di tempat baru ini, harapannya untuk sembuh pun makin tak berujung. Dokter yang diharap memberikan diagnosa tentang penyakitnya tak kunjung berkata-kata. “Dokter pun tak tahu dia ini sakit apa,” ujar ibu Setiawati lirih.

Untuk berkomunikasi, Setiawati hanya bisa menggunakan bahasa isyarat lewat kedipan-kedipan matanya. Buat orang lain, kedipan mata itu tentu tak bisa dipahami, namun lain bagi kedua orang tua yang membesarkannya. Setiap isyarat kedipan mata yang ditunjukkan Setiawati, dengan tangkas dapat diterjemahkannya. Ibu dan bapaknya segera menghampirinya, memiringkan badannya untuk mengganti sarung yang basah karena buang air kecil.

“Entahlah, sampai kapan harus begini. Saya tak tahu harus mau apa lagi. Dokter juga tidak tahu apa penyakitnya. Sudah pernah saya bawa ke dukun tak juga tak membuahkan hasil,” urai ibunya pasrah.

Setiawati kata ibunya, hanya merasa sakit kepala, yang kemudian disertai dengan panas. Seperti umumnya, sakit kepala dan demam diatasi dengan obat yang banyak tersedia di kios-kios. Itupun sangat sepela karena Setiawati sehari-harinya adalah seorang apoteker di saah satu apotek. Tapi berbeda dengan Setiawati, sakit kepala itu kunjung reda, malah makin menjadi-jadi. Segera dibawa ke Puskesmas terdekat dan seperti biasanya pula, dirinya mendapatkan obat-obat pereda sakit kepala dan penurun suhu badan.

Namun itu tak efektif, sakit kepalanya makin menjadi-jadi dan Puskesmas pun kembali menjadi sasaran. Dia di rawat hingga beberapa pekan, namun sakitnya tak hunjung sembuh. Justeru sebaliknya, sakit itu kian menggerogoti tubuhnya. Dia tak lagi bisa makan, minum apalagi beraktivitas.

Kini dia tergolek lemas di Rumah Sakit Anutapura tanpa diagnosa. Seperti sedang membayangkan kematian dalam tatapan hampa ke langit-langit kamar. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Masih Ada Harapan

Ihsan (7 tahun) mendekap alat baca tulisnya di rumahnya. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 07.00, tapi Ihsan (7) sudah muncul di depan pintu Sekolah Terpadu Permata Hati di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Itu adalah rutinitas Ihsan sejak dua tahun terakhir ini. Ia dideteksi menderita autis sejak berusia 9 bulan. Menu paginya sebelum belajar adalah dibujuk. Yah… Ihsan harus dibujuk oleh gurunya kerena ia tidak selalu siap untuk belajar.

Kerap kali guru harus bergulat di kelas, apalagi jika Ihsan benar-benar sedang tidak mood. Mengamuk sudah menjadi hal biasa dan kepiawaian guru sungguh dibutuhkan. Tak jarang Ihsan harus dibelai, tapi tak jarang pula kakinya harus dijepit oleh kedua kaki gurunya jika tetap saja tidak bisa tenang.

Gejala umum yang dihadapi anak penderita autis adalah sulitnya berkonsentrasi terhadap suatu hal. Ia memiliki dunianya sendiri. Kelainan neurobiologis yang dibawanya sejak lahir memisahkannya dengan dunia luar.

Ihsan memiliki karakter yang berbeda dengan kebanyakan penderita autis lainnya. Ia begitu menggandrungi musik, suatu karakter yang sangat langka. Musik adalah dunianya, dan semuanya harus terbangun dengan dunia yang ada di kepalanya itu.

Suatu kali, ia diminta gurunya menuliskan kata “kursi”, tapi yang ditulisnya justru kata “Bon Jovi, Backstreet, Westlife”. Suatu kali pula ia diminta menyebutkan benda-benda yang ada di depannya, tapi justru senandung “Akhirnya Aku Menemukanmu” milik Naff yang meluncur dari bibirnya.

“Tak seorang pun orang tua yang menghendaki hal ini, tapi jika itu menimpa, kita tak boleh berputus asa atau menyalahkan siapa-siapa. Yang harus kita lakukan adalah mengenali kebutuhannya dan membantunya,” kata Ir Fitriani Kartawan MSi, pimpinan Sekolah Terpadu Permata Hati.

Gejala umum yang dapat dikenali pada anak autis seperti ini antara lain; senang membenturkan kepalanya sendiri jika sedang marah, sulit mengartikulasikan kata-kata, sulit berkonsentrasi pada suatu hal yang tidak disenangi. “Kadang juga jika dipanggil, ia seolah tidak mendengarkan, atu mendengar tapi tak beranjak dari tempatnya,” ungkap Fitriani.

Tapi Ihsan masih beruntung dibanding banyak anak penderita autis lainnya. Orang tuanya sangat menyadari kebutuhan khusus bagi anaknya. Sekolah terapi adalah sarana untuk membantu Ihsan memahami bahwa ada dunia luar selain dirinya. Pengertian yang mendalam untuk membantunya terus ditunjukkan. Di lingkungan rumah, Ihsan nyaris tak berbeda dengan anak-anak sebayanya.

Orang tua Ihsan bersyukur, melalui terapi khusus itu, lambat tapi pasti ia mulai menyadari dunia luar tersebut. Ihsan mulai paham makna lingkungan dan keteraturan yang ada di dalamnya.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Pengerahan Pasukan Brimob ke Poso

Sejumlah anggota Brimob berjalan sesaaat setelah tiba di Bandara Mutiara, Palu, Sulawesi Tengah, 23 Januari 2007. Pasukan Brimob dari berbagai wilayah satuan itu akan memperkuat pasukan yang sudah dikirim sebelumnya untuk mengatasi konflik horizontal yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Sejumlah anggota Brimob berjalan sesaaat setelah tiba di Bandara Mutiara, Palu, Sulawesi Tengah, 23 Januari 2007. Pasukan Brimob dari berbagai wilayah satuan itu akan memperkuat pasukan yang sudah dikirim sebelumnya untuk mengatasi konflik horizontal yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Penangkapan Basri, DPO Poso

Basri Alias Bagong (31), DPO kasus kekerasan Poso mengacungkan jarinya saat dibawa ke Ruang Tahanan di Mapolda Sulteng, Jumat (2 Februari 2007). Basri ditangkap Densus 88 dalam operasi penyisiran di Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Kamis (1/2/2007) tanpa perlawanan. Basri mengaku melakukan aksi kekerasan karena balas dendam setelah 26 anggota keluarganya tewas dibantai saat kerusuhan Poso beberapa waktu sebelumnya. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Basri Alias Bagong (31), DPO kasus kekerasan Poso mengacungkan jarinya saat dibawa ke Ruang Tahanan di Mapolda Sulteng, Jumat (2 Februari 2007). Basri ditangkap Densus 88 dalam operasi penyisiran di Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Kamis (1/2/2007) tanpa perlawanan. Basri mengaku melakukan aksi kekerasan karena balas dendam setelah 26 anggota keluarganya tewas dibantai saat kerusuhan Poso beberapa waktu sebelumnya. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Senin Kelabu di Jalan Monginsidi

Pendeta Irianto Kongkoli telah pergi untuk selamanya. Namun semangat pengabdiannya masih melekat kuat di dada para jemaatnya. Ratusan warga dan jemaatnya mengiringinya ke tempat peristirahatan terakhir di Pekuburan Kristen Talise, Palu. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

HARI itu Senin, 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli keluar dari rumahnya yang terletak di Jalan Lorong Tanjung Maninmabaya. Pagi itu ia bergegas menuju toko bangunan yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi Palu, Sulawesi Tengah karena bahan bangunan untuk perbaikan rumah sudah habis dan semetara itu tukang bangunan akan segera bekerja.

Dengan mobil Super Kijang yang dikendarainya, ia menyusuri jalan dari Tanjung Manimbaya ke Monginsidi yang jaraknya relatif tidak terlalu jauh. Sesampai di depan toko, Irianto membuka pintu mobilnya lalu langsung masuk ke toko bangunan dimaksud.

Usai bertanya ke penjaga toko, ia kemudian ke depan toko itu untuk melihat-lihat bahan bangunan yang direncanakan akan dibelinya. Namun dor.. dor… tiba-tiba peluru timah melesat dari sebuah moncong pistol yang dibidikkan tidak jauh dari kendaraannya yang terparkir di pinggir jalan.

Irianto lagsung rubuh, sebuah peluru menerjang bagian kepalanya. Usai menembak, pengendara yang tidak dikenali itu langsung pergi meninggalkan tempat.

Panik.. penjaga toko tidak tahu harus berbuat apa kecuali meminta pertolongan. Ia berteriak dan seketika warga di sekitar toko datang berusaha membantu. Beberapa di antaranya berinisiatif untuk segera melarikan sang pendeta ke Rumah Sakit Bala Keselamatan yang juga tidak jauh dari lokasi kejadian.

Namun ajal sudah menjemput, nyawa pendeta Iriantio Kongkoli tidak bisa diselamatkan. Peluru yang bersarang di kepala pendeta sama sekali melumpuhkan denyut nadinya.

Mendapat laporan penembakan itu, polisi langsung bergegas ke TKP, mengamankan lokasi dan melakukan olah lokasi. Police lain dibentangkan dengan satuan polisi yang berjaga lengkap dengan bedil panjang.

Tak ada jejak hingga beberapa waktu kemudian.

Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) turun ke jalan. Mereka mendesak agar Polda Sulawesi Tengah lebih serius mengungkap pelaku penembakan pendeta tersebut.

Alhasil, tim Polda Sulteng berhasil mengungkapnya dan bahkan menangkap pelakunya. Kasus itu kemudian di rekonstruksi pada 29 Januari 2007. Ansar nama pelaku penembakan itu. Banyak yang tak percaya jika anak muda kurus berkacamata minus itu adalah pelakunya. Namun demikianlah adanya, Ansar dibui akibat tindakannya.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Poso Riot Convict

Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 1998-2005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 19982005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Item added to cart.
0 items - $0