.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Those who Bet on the Front Guard COVID-19

A medical officer brought logistics to the Isolation Room for Patients Under Supervision (PDP) at Undata Hospital, Palu, Central Sulawesi, Indonesia on March 15, 2020. In accordance with the Ministry of Health protocol, the hospital isolated two female patients after being referred from another hospital because experience symptoms of COVID-19 after traveling outside the area. From 30 December 2019 to 15 March 2020, there were 1,293 people examined from 28 provinces in Indonesia with 1,167 negative results, 117 COVID-19 positive confirmation cases and 9 samples were still being examined. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

A medical officer prepares a logistical isolation room for patients under surveillance (PDP) at Undata Hospital, Palu, Central Sulawesi, Indonesia on March 15, 2020. In accordance with the Ministry of Health protocol, the hospital isolated two female patients after being referred from another hospital because experience symptoms of COVID-19 after traveling outside the area. From 30 December 2019 to 15 March 2020, there were 1,293 people examined from 28 provinces in Indonesia with 1,167 negative results, 117 COVID-19 positive confirmation cases and 9 samples were still being examined. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Merajut Asa di Pulau Kabalutan

Seorang anak suku Bajo muncul ke permukaan setelah menyelam di Pulau Kabalutan, Kepulauan Togean, Tojo Unauna, Sulawesi Tengah. bmzIMAGES/Basri Marzuki

PUKUL  05.58 Wita, mentarimembersitkan sinarnya di ufuk timur. Seketika, riuh menyeruak di Pulau Kabalutan yang berada di gugusan Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah.

Pulau yang didiami sekitar 3.000 jiwa itu menyambut datangnya pagi dengan aktivitas harian yang sebagian besarnya di laut. Anak-anak bergegas mandi pagi, terjun ke laut membasahi tubuhnya dan kemudian membilas segayung atau dua gayung dengan air tawar yang sudah mengalir ke rumah-rumah warga dengan debit secukupnya.

Orang-orang tua hilir mudik dengan sampan kecil menyusuri tiang-tiang rumah yang berjejer di tepian. Ibu-ibu sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk suami yang sebentar lagi akan segera melaut memancing ikan.

Seperti kebanyakan anak-anak di wilayah lainnya, penduduk yang mayoritas beretnis suku Bajo ini juga melewati paginya dengan riang meniti jembatan-jembatan kayu yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya, hingga ke sekolah.

Separuh ruang sekolah berada di atas daratan, separuh lagi tiangnya tertancap di bibir pantai. Suasana rumah panggung sangat terasa di setiap sekolah itu.

Anak-anak yang menamatkan Sekolah Dasar di pulau itu tidak harus “merantau” ke luar pulau untuk bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Di pulau yang terdiri dari tiga dusun itu, terdapat dua buah SD, sebuah SMP dan sebuah lagi SMA.

Kecuali pendidikan tinggi, tidak ada jalan lain bagi penduduk setempat selain harus ke luar pulau, ke ibukota kabupaten di Ampana, atau ke ibukota provinsi di Palu. Sedikitnya, telah tiga orang penduduk setempat yang telah menyandang gelar sarjana strata satu.

Jumlah sekolah yang relatif tersedia itu, sebanding dengan angka fertilitas penduduk di pulau tersebut yang terbilang cukup tinggi.

Keterbatasan ruang bermukim menjadikan setiap rumah kerap dihuni tiga hingga empat Kepala Keluarga (KK). Rata-rata KK memiliki keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan tiga sampai empat orang anak.

Dari sisi infrastruktur, ketersediaan sarana kesehatan juga tersedia dengan adanya Puskesmas Pembantu dengan tenaga bidan dan mantri kesehatan. Air bersih, melalui bantuan APBN kini telah tersambung jaringan pipa air bersih bawah laut walau dengan volume yang relatif tidak banyak.

Tidak ada kegelisahan nyata di antara para pemukim yang berlatar suku Bajo di pulau itu untuk  meninggalkan kesehariannya yang terbalut dengan laut. Sejak nenek moyangnya mematrikan diri dengan kehidupan laut, asa terus dibenamkan dalam dirinya untuk kehidupan yang terus membaik.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Secercah Optimisme dari Mantan Tapol

Asman Yadjodolo, 72 tahun, alamat Panau, Palu Utara, Sulawesi Tengah, dipenjara tanpa peradilan 1966 dan dibebaskan 1979, dipekerjapaksakan selama dipenjara. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

BABAK kesuraman hidup itu dimulai ketika pimpinan negara menumpas gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI) paska tragedi terbunuhnya sejumlah jenderal TNI pada September 1965. Seluruh warga di seantero nusantara yang dicurigai menjadi antek komunis ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Ratusan ribu warga yang tersebar dari Aceh hingga Papua disapu bersih.

Di Sulawesi Tengah, gerakan penumpasan itu pun tak luput. Ribuan warga dipaksa menghuni penjara-penjara sempit tanpa proses peradilan. Mereka yang tidak kebagian tempat di penjara militer, dipenjarakan di rumah-rumah dan barak-barak dengan atribut Tahanan Politik (Tapol).

Kerja paksa menjadi aktivitas rutin para Tapol itu selama dalam tahanan yang rata-rata dibebaskan bersyarat setelah 15 tahun kemudian atau pada 1980. Infrastruktur berupa jalan, jembatan dan bangunan yang hingga kini masih berdiri kokoh menjadi saksi bisu tetesan keringat dan darah para Tapol itu.

Derita tidak selesai sampai pada pemenjaaran dan kerja paksa itu. Keluarga para Tapol pun mendapat sanksi sosial dari lingkungannya. Stigma sebagai antek PKI begitu kuat disandangkan kepada keluarganya yang berujung pada perlakuan yang diskriminatif.

Data yang dikeluarkan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulawesi Tengah menyebutkan, ribuan warga Sulawesi Tengah menjadi korban. Mereka dipisahkan dengan keluarganya, dipenjara dan lalu dipekerjakan secara paksa untuk membangun berbagai infrastruktur.

Efek traumatis dari kejadian itu masih terasa hingga saat ini. Saksi hidup atas pelanggaran HAM itu masih dapat dijumpai di hampir semua wilayah di Sulawesi Tengah. Ribuan korban itu merasakannya, tak terhitung pula efek yang terasa bagi keluarganya. Banyak pihak yang tersentak dengan kejadian pilu itu. Tak sedikit pula pihak yang berusaha “Menolak Lupa” atas kejadian traumatis itu.

Pemerintah Kota Palu adalah satu-satunya pemerintahan daerah di Indonesia yang secara terbuka menyatakan permintaan maafnya atas kejadian itu dan mengakuinya sebagai pelanggaran HAM.  Lebih dari itu, Pemerintah Kota Palu bahkan telah membuat sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk me-recovery penderitaan yang dialami oleh para korban dalam bentuk program sosial dan pemberdayaan.

Dibalik derita yang dialami, ada secercah optimisme keceriaan menjalani sisa-sisa hidup para bekas Tapol dari kata maaf yang terlontar dari pemerintah daerah itu. “Cukup sudah, jangan sampai ada lagi diskriminasi pada generasi sepeninggal kami,” pinta Asman Yojodolo, salah seorang bekas Tapol yang terpenjara dan terpekerjapaksa selama 15 tahun. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Melepas Getirnya Hidup di Rumah Jagal Sapi

Tali bekas pengikat sapi dibersihkan untuk diserahkan kembali kepada pemilik sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/7). bmzIMAGES/Basri Marzuki/15

PUKUL 02.00 Wita, Aco – demikian ia disapa, sudah siap dengan pisaunya yang diselipkan di pinggang. Kacak pinggangnya tak kalah dengan jagal sapi lainnya di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah yang usianya rata-rata di atas 40-an tahun.

Aco kini usianya memasuki 10 tahun, duduk di bangku kelas IV SDN Tavanjuka. Meski ia masih sangat belia untuk berurusan dengan merahnya darah sapi atau bertarung dengan kencangnya tendangan sapi yang akan disembelih, namun pekerjaan itu harus dilakoninya.

Ayahnya yang tukang kayu lumpuh sejak dua tahun terakhir akibat stroke. Ibunya tidak punya keterampilan yang bisa dibanggakan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah. Sementara itu, empat kakak kandungnya harus berjuang pula mempertahankan hidup. Tak hanya itu, empat adiknya yang lain pun harus bertaruh agar tetap bisa mendapatkan makanan setiap harinya.

Bersama pekerja lainnya, Aco menarik tali yang menjuntai di leher sapi yang akan disembelih. Tatkala sapi itu rebah, ia buru-buru mengikat kaki sapi tersebut sekencang mungkin lalu melepasnya kembali ketika sapi itu tak bergerak lagi, pertanda sudah mati.

Kaki-kaki Aco kokoh mencengkeram lantai semen yang licin dipenuhi dengan kotoran sapi bercampur darah segar. Jemarinya lincah memainkan pisau tajamnya menguliti sapi tersebut. Hingga semuanya tuntas, hingga seluruh daging-daging sapi itu dikumpulkan buat juragan sapi, maka berikutnya giliran Aco bekerja sendiri.

Kulit sapi yang beratnya mencapai 30 kilogram ditariknya ke tempat yang lebih lapang. Pisaunya yang tajam dihunuskan, lalu Ia memulai memisahkan sisa-sisa daging yang melekat di kulit sapi tersebut. Aco menyisir semua daging yang tersisa tersebut. Dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga bersih. Hasilnya bisa mencapai satu kilogram, dan itu menjadi miliknya.

Satu kilogram sisa-sisa daging dari kulit sapi tersebut disimpannya dalam kantong kresek hingga pedagang siomay datang membelinya. Harganya sebesar Rp30.000 per kilogram.

Saban malam, demikianlah Aco melakoni pekerjaan itu. Duit Rp30.000 yang dikantonginya tidak dihabiskan sendiri. Sebagian untuk keperluan sekolahnya dan sebagian lagi untuk membantu keuangan keluarganya.

Walau bekerja saat dinihari dan harus sekolah pada pagi harinya, Aco mengaku tidak terganggu. Ia merasa sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Bagaimana tidak, sedari dua tahun lalu ia sudah ditempa menjalani hidup seperti itu.

“Dari mana kami dapat uang untuk sekolah, bagaimana kami bisa beli baju lebaran kalau tidak bekerja begitu,” ucap Aco lirih.***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

La Haku: Hidupku Ada di Kepalamu”

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

UNTUK pria seumurnya, ia terbilang masih cukup fit. Tuas kakinya masih kokoh menopang berat badannya berdiri  hingga berjam-jam. Jari jemarinya masih lentik untuk menekan kodok pemangkas rambut dan gunting serta sisir. Ia bahkan bergerak kesana kemari, mengeker dan mengukur keseimbangan dan keharmonisan rambut pelanggannya.

Dialah La Haku, pria kelahiran 1936 ini masih kuat menggeluti profesinya sebagai tukang gunting rambut tradisional hingga sekarang. Ia tak mengeluh dengan gelarnya sebagai tukang gunting rambut yang dilakoninya sejak 36 tahun lalu. Justeru ada kebanggaan yang tersirat di wajah keriputnya karena lantaran itu ia bisa menghidupi keluarganya.

Jangan ditanya soal pengalaman ataupun suka duka menggunting rambut. Semua cerita sedih, gembira dan bahkan cerita menggelikan sudah dilaluinya, tak terkecuali ketika menggunting rambut Bandjela Paliudju muda yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah selama dua periode.

Karakter pribadinya yang luwes menjadikannya dikenal dan disukai banyak orang. Tak heran jika pelanggannya rela menunda memotong rambutnya jika La Haku kebetulan tidak sedang bekerja. Di kalangan sesama tukang gunting rambutpun sosoknya cukup dihormati. Tak hanya ukuran senioritas, tutur katanya yang bijak membuatnya disegani.

36 tahun menggunting rambut di bawah tenda plastik bukanlah waktu yang singkat. Pasar Bambaru yang kini lebih populer disebut Pasar Tua menjadi saksi bisu ketika pertama kali ia memulai profesi itu. Ia hengkang dari pasar yang mulai ditinggalkan itu sejalan dengan berdirinya Pasar Manonda yang lebih modern. Namun meski lebih modern, tempatnya tetap di tenda.

Entah sampai kapan La Haku terus menggunting rambut. Bisa jadi hingga tidak ada lagi kepala yang ingin digunting rambutnya atau mungkin ketika tidak atau lagi rambut yang bisa tumbuh di kepala. Bagi La Haku, kepala sangatlah berarti, karena dari kepala itulah ia hidup.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Bertaruh Untuk Kelangsungan Hidup

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

BIBIR Pak Ahmad sumringah ketika kami tiba di dermaga Pulau Pasoso. Pulau ini terletak di selat Makassar yang dapat dijangkau sekitar 40 mil laut dari desa labean kabupaten donggala, Sulawesi tengah atau dengan jarak tempuh 3 jam dengan perahu motor 4 tenaga kuda. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil berlarian ke dermaga melihat kedatangan kami. Tatapan anak-anak itu sangat tajam, sesuatu yang aneh dilhat pada diri-diri kami. Tatapan tu beralasan karena selama ini keluarga Pak Ahmad sehari-hari hanya mengitari pulau dengan luas tidak lebih dari 64 hektar itu.

Pak Ahmad adalah sentral kekuasaan di pulau yang hanya dihuni keluarga besarnya itu. Seorang istri, 15 orang anak dengan rentang usia tertua berusia 26 tahun dan termuda 2 bulan, plus tiga menantu dan 5 cucu adalah wajah-wajah yang berada dalam distrik kekuasaannya. Pak Ahmad menjadi raja bagi pulau itu, menjadi pengawas bagi kelangsungan hidup sejumlah spesies dan lebih jauh lagi menjadi decision maker bagi setiap persoalan yang muncul ditengahnya.

Sejak turun temurun Pak Ahmad mendiami pulau tempat bertelurnya penyu hijau yang langka itu. Keberadaanya tidak digugat pemerintah setempat karena dia punya andil dalam pelestarian lingkungan sekitarnya. Ia sangat berperan bagi pelarangan nelayan menangkap ikan menggunakan media peledak atau bom, ia pula mengelilingi pulau setiap hari kalau-kalau ada yang merusak terumbu karang di sekitarnya.

Suatu hari yang lampau, Pak Ahmad bahkan menjadi pioneer dalam usaha pelestarian penyu hijau. Ia menjadi sosok penyelamat setelah menangkarkan bayi-bayi penyu hijau sebelum di lepas ke laut bebas. Ribuan ekor bayi penyu berenang dengan riang ketika usia bertahannya dicapai dan dapat mempertahankan diri dari ganasnya hukum rimba yang berlaku di laut bebas.

Kini dalam keterbatasan dan gerogotan usia, pak Ahmad beserta keluarganya tetap bertahan di pulau yang kerap menjadi persinggahan bagi nelayan lainnya yang kemalaman mencari ikan di laut. Sumberdaya yang ada disekitarnya dikelola berdasarkan kearifan local yang dipercayainya. Anak-anaknya pun tumbuh bersama alam laut. Sayangnya, tak satupun dari 15 anaknya yang bisa mengecap nikmatnya pendidikan formal.

Pak Ahmad terus bertahan dalam hembusan angin laut. Mampukah dia bertahan di tengah gemerlapnya kemajuan teknologi di pulau seberang sana? Hingga saat ini Pak Ahmad masih terus bertaruh.***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Setiawati, Harapan Tak Berujung

Setiawati terbaring lemas tak berdaya di bangsal rumah sakit.. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SETIAWATI, demikianlah nama gadis kelahiran 19 tahun lalu ini. Matanya menatap hampa ke arah langit-langit kamar Rumah Sakit Anutapura, Palu. Ia lemas, tak berdaya, tergolek dengan hanya mengandalkan kasih sayang ibu dan bapaknya. Sudah dua pekan Setiawati terbaring di ruang perawatan itu. Tapi bukan kali itu saja, sebelumnya dia juga pernah mengecap panasnya ruang perawatan di Puskesma sekitar rumahnya di Tawaili, Palu.

Ia hengkang dari tempat perawatannya yang pertama karena sakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, malah makin berlarut-larut. Di tempat baru ini, harapannya untuk sembuh pun makin tak berujung. Dokter yang diharap memberikan diagnosa tentang penyakitnya tak kunjung berkata-kata. “Dokter pun tak tahu dia ini sakit apa,” ujar ibu Setiawati lirih.

Untuk berkomunikasi, Setiawati hanya bisa menggunakan bahasa isyarat lewat kedipan-kedipan matanya. Buat orang lain, kedipan mata itu tentu tak bisa dipahami, namun lain bagi kedua orang tua yang membesarkannya. Setiap isyarat kedipan mata yang ditunjukkan Setiawati, dengan tangkas dapat diterjemahkannya. Ibu dan bapaknya segera menghampirinya, memiringkan badannya untuk mengganti sarung yang basah karena buang air kecil.

“Entahlah, sampai kapan harus begini. Saya tak tahu harus mau apa lagi. Dokter juga tidak tahu apa penyakitnya. Sudah pernah saya bawa ke dukun tak juga tak membuahkan hasil,” urai ibunya pasrah.

Setiawati kata ibunya, hanya merasa sakit kepala, yang kemudian disertai dengan panas. Seperti umumnya, sakit kepala dan demam diatasi dengan obat yang banyak tersedia di kios-kios. Itupun sangat sepela karena Setiawati sehari-harinya adalah seorang apoteker di saah satu apotek. Tapi berbeda dengan Setiawati, sakit kepala itu kunjung reda, malah makin menjadi-jadi. Segera dibawa ke Puskesmas terdekat dan seperti biasanya pula, dirinya mendapatkan obat-obat pereda sakit kepala dan penurun suhu badan.

Namun itu tak efektif, sakit kepalanya makin menjadi-jadi dan Puskesmas pun kembali menjadi sasaran. Dia di rawat hingga beberapa pekan, namun sakitnya tak hunjung sembuh. Justeru sebaliknya, sakit itu kian menggerogoti tubuhnya. Dia tak lagi bisa makan, minum apalagi beraktivitas.

Kini dia tergolek lemas di Rumah Sakit Anutapura tanpa diagnosa. Seperti sedang membayangkan kematian dalam tatapan hampa ke langit-langit kamar. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Masih Ada Harapan

Ihsan (7 tahun) mendekap alat baca tulisnya di rumahnya. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 07.00, tapi Ihsan (7) sudah muncul di depan pintu Sekolah Terpadu Permata Hati di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Itu adalah rutinitas Ihsan sejak dua tahun terakhir ini. Ia dideteksi menderita autis sejak berusia 9 bulan. Menu paginya sebelum belajar adalah dibujuk. Yah… Ihsan harus dibujuk oleh gurunya kerena ia tidak selalu siap untuk belajar.

Kerap kali guru harus bergulat di kelas, apalagi jika Ihsan benar-benar sedang tidak mood. Mengamuk sudah menjadi hal biasa dan kepiawaian guru sungguh dibutuhkan. Tak jarang Ihsan harus dibelai, tapi tak jarang pula kakinya harus dijepit oleh kedua kaki gurunya jika tetap saja tidak bisa tenang.

Gejala umum yang dihadapi anak penderita autis adalah sulitnya berkonsentrasi terhadap suatu hal. Ia memiliki dunianya sendiri. Kelainan neurobiologis yang dibawanya sejak lahir memisahkannya dengan dunia luar.

Ihsan memiliki karakter yang berbeda dengan kebanyakan penderita autis lainnya. Ia begitu menggandrungi musik, suatu karakter yang sangat langka. Musik adalah dunianya, dan semuanya harus terbangun dengan dunia yang ada di kepalanya itu.

Suatu kali, ia diminta gurunya menuliskan kata “kursi”, tapi yang ditulisnya justru kata “Bon Jovi, Backstreet, Westlife”. Suatu kali pula ia diminta menyebutkan benda-benda yang ada di depannya, tapi justru senandung “Akhirnya Aku Menemukanmu” milik Naff yang meluncur dari bibirnya.

“Tak seorang pun orang tua yang menghendaki hal ini, tapi jika itu menimpa, kita tak boleh berputus asa atau menyalahkan siapa-siapa. Yang harus kita lakukan adalah mengenali kebutuhannya dan membantunya,” kata Ir Fitriani Kartawan MSi, pimpinan Sekolah Terpadu Permata Hati.

Gejala umum yang dapat dikenali pada anak autis seperti ini antara lain; senang membenturkan kepalanya sendiri jika sedang marah, sulit mengartikulasikan kata-kata, sulit berkonsentrasi pada suatu hal yang tidak disenangi. “Kadang juga jika dipanggil, ia seolah tidak mendengarkan, atu mendengar tapi tak beranjak dari tempatnya,” ungkap Fitriani.

Tapi Ihsan masih beruntung dibanding banyak anak penderita autis lainnya. Orang tuanya sangat menyadari kebutuhan khusus bagi anaknya. Sekolah terapi adalah sarana untuk membantu Ihsan memahami bahwa ada dunia luar selain dirinya. Pengertian yang mendalam untuk membantunya terus ditunjukkan. Di lingkungan rumah, Ihsan nyaris tak berbeda dengan anak-anak sebayanya.

Orang tua Ihsan bersyukur, melalui terapi khusus itu, lambat tapi pasti ia mulai menyadari dunia luar tersebut. Ihsan mulai paham makna lingkungan dan keteraturan yang ada di dalamnya.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Senin Kelabu di Jalan Monginsidi

Pendeta Irianto Kongkoli telah pergi untuk selamanya. Namun semangat pengabdiannya masih melekat kuat di dada para jemaatnya. Ratusan warga dan jemaatnya mengiringinya ke tempat peristirahatan terakhir di Pekuburan Kristen Talise, Palu. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

HARI itu Senin, 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli keluar dari rumahnya yang terletak di Jalan Lorong Tanjung Maninmabaya. Pagi itu ia bergegas menuju toko bangunan yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi Palu, Sulawesi Tengah karena bahan bangunan untuk perbaikan rumah sudah habis dan semetara itu tukang bangunan akan segera bekerja.

Dengan mobil Super Kijang yang dikendarainya, ia menyusuri jalan dari Tanjung Manimbaya ke Monginsidi yang jaraknya relatif tidak terlalu jauh. Sesampai di depan toko, Irianto membuka pintu mobilnya lalu langsung masuk ke toko bangunan dimaksud.

Usai bertanya ke penjaga toko, ia kemudian ke depan toko itu untuk melihat-lihat bahan bangunan yang direncanakan akan dibelinya. Namun dor.. dor… tiba-tiba peluru timah melesat dari sebuah moncong pistol yang dibidikkan tidak jauh dari kendaraannya yang terparkir di pinggir jalan.

Irianto lagsung rubuh, sebuah peluru menerjang bagian kepalanya. Usai menembak, pengendara yang tidak dikenali itu langsung pergi meninggalkan tempat.

Panik.. penjaga toko tidak tahu harus berbuat apa kecuali meminta pertolongan. Ia berteriak dan seketika warga di sekitar toko datang berusaha membantu. Beberapa di antaranya berinisiatif untuk segera melarikan sang pendeta ke Rumah Sakit Bala Keselamatan yang juga tidak jauh dari lokasi kejadian.

Namun ajal sudah menjemput, nyawa pendeta Iriantio Kongkoli tidak bisa diselamatkan. Peluru yang bersarang di kepala pendeta sama sekali melumpuhkan denyut nadinya.

Mendapat laporan penembakan itu, polisi langsung bergegas ke TKP, mengamankan lokasi dan melakukan olah lokasi. Police lain dibentangkan dengan satuan polisi yang berjaga lengkap dengan bedil panjang.

Tak ada jejak hingga beberapa waktu kemudian.

Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) turun ke jalan. Mereka mendesak agar Polda Sulawesi Tengah lebih serius mengungkap pelaku penembakan pendeta tersebut.

Alhasil, tim Polda Sulteng berhasil mengungkapnya dan bahkan menangkap pelakunya. Kasus itu kemudian di rekonstruksi pada 29 Januari 2007. Ansar nama pelaku penembakan itu. Banyak yang tak percaya jika anak muda kurus berkacamata minus itu adalah pelakunya. Namun demikianlah adanya, Ansar dibui akibat tindakannya.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Poso Riot Convict

Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 1998-2005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 19982005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Item added to cart.
0 items - $0