.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Kulit Sapi Hasil Kurban

Pekerja membersihkan kulit sapi hasil kurban dari sisa-sisa daging di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (18/6/2027). Penjualan kulit sapi meningkat hingga lima kali lipat karena banyaknya ternak sapi yang disembelih selama dua hari pelaksanaan Idul Adha 1445 H. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Pekerja melipat kulit sapi hasil kurban yang telah dibersihkan di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (18/6/2027). Penjualan kulit sapi meningkat hingga lima kali lipat karena banyaknya ternak sapi yang disembelih selama dua hari pelaksanaan Idul Adha 1445 H. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Peternakan Leluhur di Lembah Lore Poso

Meski menghadapi masalah bibit atau anakan, pera pemangku adat tetap berusaha menjalankan amanah adat atas peternakan itu. Sesekali mereka turun ke lapangan melihat langsung kondisi ternak-ternak itu. bmzIMAGES/Basri Marzuki

KABUT  masih berarak di langit. Pagi yang dingin masih menyelimuti Lembah Lore. Tetapi Suwardi Tudai, ketua penggembala di peternakan leluhur di desa Winowanga, Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu sudah beranjak dari rumahnya. Ia akan memastikan kerbau dan sapi-sapi siap dilepas ke padang savana yang luasnya seujung mata memandang.

Pharmacokinetics: The extent of percutaneous absorption of topical corticosteroids is determined by many factors including the vehicle, the integrity of the epidermal barrier, and the use of occlusive dressings. Cefprozil is in a class of medications called cephalosporin antibiotics. Do not use a second inhaled bronchodilator that contains formoterol, arformoterol, indacaterol, olodaterol, salmeterol, or formoterol www.farmaciasinreceta.net. Symptoms include: • Very slow heart rate.

Begitulah setiap harinya, ratusan kerbau dan sapi diternakkan di padang 2.500 hektare itu. Peternakan yang sudah ada sejak tahun 1818 itu dikelola secara turun temurun oleh keluarga dan menjadi warisan leluhur yang terus dipertahankan dari generasi ke generasi.

Lebih dari dua abad berlalu, peternakan yang pengelolaannya juga dicampuri oleh lembaga adat setempat masih bertahan hingga kini. Kehadiran lembaga adat di peternakan leluhur itu bukan tanpa alasan, karena distribusi seluruh hasil ternak hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisi yang melanggengkan adat.

“Kerbau dan sapi di peternakan ini juga dijual, tapi tidak untuk umum, jadi hanya untuk kegiatan adat seperti pesta pernikahan, selamatan, atau kegiatan adat lainnya. Hasilnya penjualannya digunakan kembali untuk membiayai peternakan ini,” aku SN Ama, ketua adat setempat.

Meski langgeng hingga kini, kearifan mengelola peternakan leluhur itu bukan tanpa masalah. Problem anakan atau bibit kerbau dan sapi menjadi ganjalan utama. Angka fertilitas hewan ternak di peternakan itu terbilang sangat rendah. Bagaimana tidak, rasio ternak pejantan terhadap terhadap betina hanya 1:12, padahal idealnya 1:5.

Pemerintah Desa Winowanga berusaha turun tangan, namun keterbatasan dalam banyak hal tidak memberi solusi siginifikan bagi kerbelanjutan peternakan leluhur itu.

“Sudah beberapa kali kami memohon kepada dinas terkait, namun hingga kini belum ada realisasinya,” ungkap  Alpius Rangka, kepala Desa Winowanga.

Dan kini, satu-satunya peternakan leluhur bernilai historis yang selalu mengundang decak kagum setiap pengunjung itu sedang “megap-megap” menjalani hari-harinya. Kerbau dan sapi-sapi beserta penggembala dan tetua adatnya sedang “tertatih-tatih” melanggengkan cerita peradaban di daerah itu. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Melepas Getirnya Hidup di Rumah Jagal Sapi

Tali bekas pengikat sapi dibersihkan untuk diserahkan kembali kepada pemilik sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/7). bmzIMAGES/Basri Marzuki/15

PUKUL 02.00 Wita, Aco – demikian ia disapa, sudah siap dengan pisaunya yang diselipkan di pinggang. Kacak pinggangnya tak kalah dengan jagal sapi lainnya di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah yang usianya rata-rata di atas 40-an tahun.

Aco kini usianya memasuki 10 tahun, duduk di bangku kelas IV SDN Tavanjuka. Meski ia masih sangat belia untuk berurusan dengan merahnya darah sapi atau bertarung dengan kencangnya tendangan sapi yang akan disembelih, namun pekerjaan itu harus dilakoninya.

Ayahnya yang tukang kayu lumpuh sejak dua tahun terakhir akibat stroke. Ibunya tidak punya keterampilan yang bisa dibanggakan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah. Sementara itu, empat kakak kandungnya harus berjuang pula mempertahankan hidup. Tak hanya itu, empat adiknya yang lain pun harus bertaruh agar tetap bisa mendapatkan makanan setiap harinya.

Bersama pekerja lainnya, Aco menarik tali yang menjuntai di leher sapi yang akan disembelih. Tatkala sapi itu rebah, ia buru-buru mengikat kaki sapi tersebut sekencang mungkin lalu melepasnya kembali ketika sapi itu tak bergerak lagi, pertanda sudah mati.

Kaki-kaki Aco kokoh mencengkeram lantai semen yang licin dipenuhi dengan kotoran sapi bercampur darah segar. Jemarinya lincah memainkan pisau tajamnya menguliti sapi tersebut. Hingga semuanya tuntas, hingga seluruh daging-daging sapi itu dikumpulkan buat juragan sapi, maka berikutnya giliran Aco bekerja sendiri.

Kulit sapi yang beratnya mencapai 30 kilogram ditariknya ke tempat yang lebih lapang. Pisaunya yang tajam dihunuskan, lalu Ia memulai memisahkan sisa-sisa daging yang melekat di kulit sapi tersebut. Aco menyisir semua daging yang tersisa tersebut. Dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga bersih. Hasilnya bisa mencapai satu kilogram, dan itu menjadi miliknya.

Satu kilogram sisa-sisa daging dari kulit sapi tersebut disimpannya dalam kantong kresek hingga pedagang siomay datang membelinya. Harganya sebesar Rp30.000 per kilogram.

Saban malam, demikianlah Aco melakoni pekerjaan itu. Duit Rp30.000 yang dikantonginya tidak dihabiskan sendiri. Sebagian untuk keperluan sekolahnya dan sebagian lagi untuk membantu keuangan keluarganya.

Walau bekerja saat dinihari dan harus sekolah pada pagi harinya, Aco mengaku tidak terganggu. Ia merasa sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Bagaimana tidak, sedari dua tahun lalu ia sudah ditempa menjalani hidup seperti itu.

“Dari mana kami dapat uang untuk sekolah, bagaimana kami bisa beli baju lebaran kalau tidak bekerja begitu,” ucap Aco lirih.***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0