.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Salt Farmers After the Tsunami

https://www.cialispascherfr24.com/cialis-60-mg-pas-cher/

It’s used to treat infections such as chest infections, skin infections, rosacea, dental infections and sexually transmitted infections (STIs), as well as a lot of other rare infections. It is not likely that other drugs you take orally or inject will have an effect on topically applied alitretinoin. However, elderly patients are more likely to have constipation, trouble passing urine, uncontrolled movements, or age-related liver, kidney, or heart problems, which may require caution in patients receiving clozapine http://farmaciaenlineasinreceta.org/. Fuzeon must be used in combination with other HIV drugs.

Action The Boys Save the Hawksbill Turtle

Palu, Central Sulawesi, Indonesia (October 27): Two boys pushed a Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata) down to sea on the Kampung Lere Beach, Palu, Central Sulawesi, Indonesia on 27 October 2019. The rare and protected turtle was released by the boy This is after a fisherman catches him when he catches fish in the sea and then leaves it tied to the hot beach. The children then came and felt sorry, then released him back to the sea. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

A hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata) was caught by a fisherman while netting fish in the sea on October 27, 2019. The turtle was then taken to shore by the fisherman and tied the turtle’s legs with a rope to avoid running away.

A group of children suddenly came to the beach and watched the rare and protected turtle torture. His legs were bound and in a very hot heat. The hot temperature at that time in Kampung Lere Beach, Palu, Central Sulawesi, Indonesia reached 37 degrees Celsius.

Unbeknownst to the fishermen who caught the turtle, some children then took the initiative to dig sand near the turtle so that it could collect water for the turtle. The children also watered the turtle’s head so it would not overheat.

Meanwhile, other children try to find broken bottles so they can break the rope that ties the turtle’s legs. After trying long enough the rope was finally broken.

Without further thought, the children then pushed the turtle with all their might to return to the sea.

Turtles that are about 70 centimeters long and 50 centimeters wide are heavy enough to be pushed, but then the cubs take turns lifting until they finally reach the sea.

The children were happy because after reaching the sea, the turtle could finally swim again and return to their habitat.

Text & Photos: Basri Marzuki
============

Seekor Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) ditangkap seorang nelayan ketika menjaring ikan di laut pada 27 Oktober 2019. Penyu itu kemudian dibawa ke pantai oleh nelayan tersebut dan mengikat kaki penyu itu dengan tali agar tidak melarikan diri.

Sekelompok anak-anak tiba-tiba datang ke pantai itu dan menyaksikan penyu yang langka dan dilindungi undang-undang itu sangat tersiksa. Kakinya terikat dan dalam keadaan panas yang sangat menyengat. Suhu panas saat itu di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia mencapai 37 derajat celcius.

Tanpa sepengetahuan nelayan yang menangkap penyu itu, beberapa anak kemudian berinisiatif menggali pasir yang ada di dekat penyu itu agar dapat menampung air bagi penyu. Anak-anak juga menyiram kepala penyu itu agar tidak kepanasan.

Sementara itu, anak-anak lainnya mencoba mencari pecahan botol agar bisa memutuskan tali yang mengikat kaki penyu itu. Setelah berusaha cukup lama akhirnya tali pengikat tersebut berhasil diputuskan.

Tanpa fikir panjang lagi, anak-anak itu lalu mendorong penyu itu sekuat tenaga agar bsia kembali laut.

Penyu yang berukuran panjang sekitar 70 centimer dan lebar 50 centimeter cukup berat untuk didorong, namun kemudian anak-ank bergantian mengangkat hingga akhirnya bisa mencapai laut.

Anak-anak itu gembira karena setelah mencapai laut, penyu itu akhirnya bisa berenang lagi dan kembali ke habitatnya.

Text & Photos: Basri Marzuki

Menghadang Abrasi Teluk Palu

Sekitar 23 persen bakau di dunia tumbuh di Indonesia. Bakau ini melindungi pantai dari abrasi, banjir dan tsunami. Namun sejak 1980-an, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sekitar 40 persen hutan bakau tersebut telah rusak dan perusakan itu berkontribusi terhadap pemanasan global.

Approximately 200 patients with newly diagnosed Parkinson’s disease participated in a clinical study of cabergoline monotherapy. It is a combination of four drugs in one pill, taken once a day. Take triamterene and hydrochlorothiazide exactly as directed Generyczny Cialis online cena. It is wise to avoid use loperamide in patients who require bethanechol.

Garis pantai Teluk Palu yang meliputi Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah tak luput dari kerusakan hutan bakau tersebut. Dulunya, garis pantai sepanjang lebih dari 67 kilometer itu tertutupi hutan bakau. Namun kini hanya menyisakan tak lebih dari 10 hektar atau sepanjang 2,5 kilometer. Hilangnya hutan bakau itu antara lain disebabkan oleh penebangan, pemukiman, hotel, dan dermaga.

Ketika tsunami menghantam Kota Palu dan Donggala dengan skala yang cukup besar pada 28 September 2018, sebagian besar pesisir pantai hancur karena bakau yang seharusnya menjadi penghadang tsunami sudah rusak dan hilang.

Ekosistem bakau yang tersisa hanyalah Gonenggati yang terletak di Kabupaten Donggala. Hutan bakau yang dilestarikan itu dikelola oleh kelompok pemuda yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) beranggotakan 30 pemuda lokal, diketuai seorang pemuda bernama Yuryanto.

Mereka menanam bibit bakau di lahan pesisir yang rusak dan juga menjadikannya sebagai laboratorium bagi pelajar dan mahasiswa, serta menyulapnya sebagai tempat wisata dengan melibatkan masyarakat sekitarnya.

Meski dijadikan sebagai obyek wisata, hutan bakau tersebut juga menjadi sumber penghidupan nelayan lokal untuk menangkap udang dan kepiting.

Kesadaran pentingnya melestarikan bakau menjadi motivasi utama bagi kelompok pemuda itu. Mereka menyadari, wilayahnya tak memiliki sumberdaya yang bisa diandalkan untk mengangkat tingkat kehidupan mereka menjadi lebih baik, dan di sisi lain, hutan bakau disadari pula sangat efektif dalam menyerap karbon.

Tak sebatas itu, kesadaran itu juga ditularkan kepada berbagai kelompok lainnya untuk turut mengambil peran, tak sekadar melindungi pesisir, tetapi juga untuk keberlanjutan generasi berikutnya.

Penelitian yang dilakukan oleh National University of Singapore pada 2018 menyimpulkan bahwa hutan bakau adalah habitat yang paling hemat biaya untuk mengurangi emisi karbon. Vegetasi pantai tumbuh cepat dan menyimpan karbon organik lebih efisien daripada hutan hujan tropis atau ekosistem lainnya.

Tanah ekosistem mangrove adalah yang paling penting karena 78 persen karbon tersimpan di tanah, 20 persen di pohon hidup dan dua persen di pohon mati. Saat digunduli, ekosistem mangrove melepaskan karbon dioksida (CO2) ke udara.

Di Indonesia, 190 juta metrik ton CO2 dibebaskan setiap tahun karena deforestasi hutan bakau, yang mencapai 42 persen dari emisi gas rumah kaca.

Di tempat lain, para pecinta lingkungan menuntut untuk menghentikan deforestasi dan memulihkan hutan bakau di Teluk Palu, terlebih menilik dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami September 2018 lalu yang memporak-porandakan garis pantai Teluk Palu dan lebih jauh lagi terus mengikis pantai sepanjang Teluk Palu.

Bencana tsunami telah membuktikan jika pesisir pantai Gonenggati sedikit pun tidak mengalami kerusakan apalagi menelan korban jiwa karena perlindungan hutan bakau yang dikelola kelompok pemuda itu.

Atas hal itu, kelompok tani hutan ini bersama pecinta lingkungan lainnya menolak jika perlindungan terhadap garis pantai dilakukan dengan membangun tanggul beton. Selain padat modal, tanggul beton dinilainya memisahkan sosio ekonomi mastakaat pesisir dengan laut yang menjadi sumber penghidupannya. Tanggul beton dinilai tak bisa memberi kontribusi yang siginifikan terhadap ancaman pemanasan global yang sudah tampak di depan mata.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki / bmzIMAGES

Yellow Memories Tsunami Performance

Palu, Central Sulawesi, INDONESIA (7th Jan 2019): Japanese artist, Daisuke Takeya performed "Yellow Memories" on Talise Beach, Palu Bay, Central Sulawesi, Indonesia, Monday (1/7/2019). The show was the result of collaboration with the Ruang 28 and Sudut Pandang Forum to care for the memories of the earthquake, tsunami and liquefaction disaster that hit Palu City on September 28, 2018 which killed more than 2,000 people. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Palu, Central Sulawesi, INDONESIA (7th Jan 2019): Japanese artist, Daisuke Takeya performed “Yellow Memories” on Talise Beach, Palu Bay, Central Sulawesi, Indonesia, Monday (1/7/2019). The show was the result of collaboration with the Ruang 28 and Sudut Pandang Forum to care for the memories of the earthquake, tsunami and liquefaction disaster that hit Palu City on September 28, 2018 which killed more than 2,000 people. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0