Seniman tradisi memainkan Kayori pada Festival Dade Reme Vula atau Cerita Bulan Purnama di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (21/6/2024). Kayori adalah sastra lisan Suku Kaili, suku mayoritas yang mendiami lembah Palu yang berisi syair-syair kuno tentang masa lalu dan ditampilkan dalam festival itu untuk melestarikan sekaligus mengangkat kembali nilai-nilai tradisi yang mulai dilupakan oleh generasi muda. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Budaya
Mengukuhkan Seni dan Budaya dalam Lalove
TIDAK ada catatan sejarah tentang kapan alat musik tiup bernama Lalove ini mulai digunakan oleh masyarakat to Kaili. Kaili adalah etnis mayoritas yang mendiami sebagian besar lembah Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Yang pasti, pada setiap ritual adat terutama upacara penyembuhan yang disebut “Balia”, alat musik tiup ini selalu hadir bersama gimba (gendang) yang mengiringi upacara tersebut.
Di zamannya, lalove begitu sakral. Untuk membuatnya harus melalui prosedur adat yang sarat dengan unsur magic. Dimulai dengan pemilihan bambu, melepaskan ranting-rantingnya, hingga memotong ruas dan menentukan titik-titik lubangnya dilakukan dengan mantra.
Pemanteraan itu sesuai dengan maksudnya yakni ketika ditiup atau dibunyikan akan memiliki keuatan supra natural untuk memaggil roh. Dalam ritual penyembuhan Balia, peran lalove sangat penting karena menentukan seperti apa roh itu bisa masuk ke tubuh seeorang yang sedang dalam proses penyembuhan. Karena itu pula, peniup lalove adalah mereka yang memiliki keahlian dan kekuatan natural itu pula.
Namun itu dulu, kini Lalove tidak lagi sekadar mengiringi ritual penyembuhan. Beberapa ritual atau bahkan drama seni, tari kreasi dan juga musik kontemporer pun memanfaatkan alat musik khas yang terbuat dari buluh (bambu) pilihan ini.
Perjalanan waktu mengubah unsur magic yang melekat dalam lalove. Ia bisa diproduksi secara massal dengan mengesampingkan unsur magic tersebut. Secara ekonomis, Lalove bukanlah unit bisnis yang menggiurkan, pertama karena pasarnya sangat terbatas di kalangan tertentu, kedua tidak banyak orang yang mau menggelutinya. Itu pula alasan mengapa mendapatkan Lalove terasa begitu sulit.
Namun di pelosok Kabupaten Sigi, tepatnya di Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, masih ada yang peduli dengan pelestarian alat musik tiup khas ini. “Bukan unsur ekonomisnya, tapi lebih kepada bagaimana agar alat musik ini tetap ada dalam khasanah seni dan budaya kita, to Kaili,” ujar Yayan Kololio, perajin Lalove itu.
Menurutnya, tidak cukup sulit untuk membuat Lalove. Tiga jam baginya cukup untuk bisa menyelesaikan satu unit Lalove. “Tapi itu tadi, unsur magicnya kita kesampingkan. Kecuali kalau membuat Lalove khusus, butuh waktu yang lebih panjang,” sebut Yayan.
Selama tiga tahun menggeluti kerajinan Lalove itu, cukup memadai Lalove yang bisa dihasilkan. Umumnya Lalove itu dibuatkan berdasarkan pesanan, seperti anak-anak sekolah yang dalam kurikulumnya mengajarkan tentang alat music tradisional. Selain itu beberapa sanggar seni kerap kali mengorder untuk keperluan sanggarnya.
Suatu kebanggaan menurutnya karena meski jauh di pelosok, namun suara Lalove itu banyak pula diminati oleh orang di luar etnis to Kaili. Lalove yang dibuatnya bahkan sudah menjamah beberapa seniman di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Makassar, Semarang dan Jawa sebagiannya.
Pengetahuan membuat Lalove diakuinya didapatkan secara otodidak. Ia mengaku tidak memiliki silsilah pembuat atau pengguna Lalove. “Ini spontan saja, saya mendengar bunyi Lalove dalam sebuah upacara Balia dan saat itu saya tergerak untuk mencoba membuatnya. Itulah awalnya,” aku Yayan.
Ia berharap ke depan akan banyak anak muda yang menekuni pembuatan Lalove tersebut terkait dengan regenerasi. Karena menurutnya, jika semua berpaling dari kekhasan seni dan budaya lokal, entah apa jadinya to Kaili nantinya. Bisa jadi hanya tersisa cerita saja. ***
Teks dan Foto: Basri Marzuki
Mengucap Syukur dengan Ritual Vunja
Di tengah rerimbunan pohon kelapa di sebuah kebun di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkumpul ratusan warga. Mereka bersama para pemuka adat di wilayah itu sedang menggelar ritual adat bernama Vunja.
Vunja adalah ritual adat sebagai pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Ritual itu dilaksanakan oleh etnis Kaili, etnis asli dan mayoritas yang mendiami lembah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutung di Sualwesi Tengah.
Desa itu memang baru saja melaksanakan panen raya. Tahun ini hasil panen cukup melimpah. Tanaman padi tumbuh subur dan cukup banyak memberikan hasil. Tanaman palawija pun begitu, umbi-umbian dan kacang-kacangan memenuhi lumbung-lumbung milik warga di halaman mereka. Tahun ini hasil panen cukup banyak. Rasa suka ria terlihat di wajah-wajah penduduk yang bermukim di desa tersebut.
Pemuka adat memiliki alasn yang kuat untuk menggelar ritual yangs udah turun temurun dilakukan itu.
Seekor kambing hasil patungan warga pun disembelih. Sesembahan lainnya berupa ketupat, penganan, dan bahan makanan disatukan dari warga yang secara sukarela membawanya dari rumah.
Gimba (gendang) pun mulai ditalu seiring dengan gerak tari para pemuka wadat yang mengelilingi pohon bamboo tempat mennggantungkan aneka persembahan. Mereka kompak, satu sama lainnya bergandengan tangan, melantukan Dadendate (nyanyian rakyat) dan pujian kepada Yang Maha Kuasa.
Ketua adat maju ke depan, menyatakan mantra dari bawah janur kuning yang merumbai di atasnya. Pekik warga tiba-tiba mengumandang, diikuti hysteria warga lainnya yang mengerumuni. “Terimalah ungkapan syukur kami atas pemberian dan perlindunganMU,” kata tetua adat itu dalam dadendate-nya.
Warga semakin merangsek ke dalam lingkaran penari menandai ritual tari Vunja segera berakhir. Dan, sontak warga tersebut berebut bahan makanan begitu ritual itu dinyatakan selesai.
Tepat pukul 06.00 Wita, atau di saat adzan maghrib akan berkumandang, ratusan warga itu kemudian berbondong-bondong pulang dengan wajah gembira. Mereka kini sudah bisa membuat acara keluarga, sunatan, pernikahan ataupun memperbaiki rumah, karena ritual Vunja baru saja usai dilaksanakan.
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Sesajen Movunja
Persembahan dalam ritual Movunja, beras ketan putih, beras ketan hitam, telur, pinang, kapur sirih, korek api. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Pagelaran Busana Batik Bomba
Sejumlah peserta melakukan parade busana batik Bomba pada pemilihan putra putri batik di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (8/12/2013) malam. Parade itu dilaksanakan untuk memasyarakatkan batik Bomba sebagai batik khas di Palu sekaligus mengampanyekan batik sebagai bagian dari pakaian tradisi asli Indonesia yang patut dijaga dan dilestarikan. bmzIMAGES/Basri Marzuki
Memugar Kehidupan di Toro
SIANG itu cukup terik, tapi warga tetap berkerumun di sekitar rumah adat Lobo yang baru saja dipugar. Kegembiraan terlihat di rumah adat itu dengan jumbai-jumbai janur kuning yang menghias di setiap sisinya. Lantunan musik bambu tak henti-hentinya terdengar. Seekor kerbau hitam pun disembelih untuk menandai syukur tiada tara atas kembalinya Lobo yang asli. Rumah adat yang diharapkan memberi pencerahan kembali akan keapikan hidup.
Tetua adat mengambil tempat di pinggir tengah, lalu berjejer di sisi kiri dan kanan para pemuka adat yang berada di level bawahnya. Mereka mewakili seluruh komunitas adat yang berdiam di dataran Toro, sebuah wilayah yang masih menyimpan keunikan tertua penduduk asli Sulawesi Tengah beretnis Moma.
Tetua adat memberikan pesan-pesan dalam bahasa Kaili khas etnis Moma. Pesan itu sarat dengan kebajikan hidup, bukan hanya dalam kaitan hubungan sosial terhadap sesama manusia, tetapi juga dalam hubungan dengan lingkungan. Hidup adalah anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam, dan sepantasnyalah jika segala tindak tanduk mencerminkan rasa terima kasih kepada Tuhan dan alam.
Lobo menjadi lambang penjagaan integritas hidup, dia menjadi tempat bermufakat atas semua persoalan yang tumbuh dan berkembang bagi pemukim di sekitarnya. Di dalamnya tercermin kearifan lokal yang terus terjaga. Dengan harapan baru, mereka meletupkannya dengan syukur, santap siang bersama dan menari sakral raego sebagai wujud terima kasih. ***
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Ritual Vunja Usai Panen
Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki
Karnaval Ogoh-Ogoh
Salah satu ogoh-ogoh yang diarak pada Carnaval Ogoh-Ogoh yang dilaksanakan di Desa Tolai, Kecamatan Tolai, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kamis (22/3/2012). Carnaval yang digelar tersebut dalam rangka merayakan Tahun Baru Caka 1934 oleh umat Hindu Bali yang berdiam di daerah tersebut. bmzIMAGES/Basri Marzuki
Pernikahan Adat Campuran
Pasangan Jefl Logan Comaway berkewarganegaraan Amerika Serikat dan Melisa Widebline Sambara Dewi, WNI, dijamu saat melangsungkan pernikahan adat Kulawi di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (4/2/2012). Pernikahan campuran budaya yang berbeda makin marak dilakukan setelah peraturan perundangan memberi kelonggaran untuk itu. bmzIMAGES/Basri Marzuki
Zoom, Festival Media Art
Dua pemain teater dari Masyarakat Batu mengusung globe saat mementaskan teater bertema “Zoom” di Gedung Taman Budaya, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (30/10/2010). Teater karya Putu Wijaya itu bercerita tentang cacat generik yang disebabkan oleh perang. Pentas itu adalah rangkaian dari seri performance art Festival Media Art 101010. bmzIMAGES/Basri Marzuki