.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Dade Reme Vula

Seniman tradisi memainkan Kayori pada Festival Dade Reme Vula atau Cerita Bulan Purnama di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (21/6/2024). Kayori adalah sastra lisan Suku Kaili, suku mayoritas yang mendiami lembah Palu yang berisi syair-syair kuno tentang masa lalu dan ditampilkan dalam festival itu untuk melestarikan sekaligus mengangkat kembali nilai-nilai tradisi yang mulai dilupakan oleh generasi muda. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Seniman tradisi memainkan Kayori pada Festival Dade Reme Vula atau Cerita Bulan Purnama di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (21/6/2024). Kayori adalah sastra lisan Suku Kaili, suku mayoritas yang mendiami lembah Palu yang berisi syair-syair kuno tentang masa lalu dan ditampilkan dalam festival itu untuk melestarikan sekaligus mengangkat kembali nilai-nilai tradisi yang mulai dilupakan oleh generasi muda. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Mengucap Syukur dengan Ritual Vunja

Ritual segera dimulakan. Pemuka adat menyiapkan sesembahan di awah pohon bambu di Desa Binangga, Kecamatan marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Di tengah rerimbunan pohon kelapa di sebuah kebun di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkumpul ratusan warga. Mereka bersama para pemuka adat di wilayah itu sedang menggelar ritual adat bernama Vunja.

Vunja adalah ritual adat sebagai pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Ritual itu dilaksanakan oleh etnis Kaili, etnis asli dan mayoritas yang mendiami lembah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutung di Sualwesi Tengah.

Desa itu memang baru saja melaksanakan panen raya. Tahun ini hasil panen cukup melimpah. Tanaman padi tumbuh subur dan cukup banyak memberikan hasil. Tanaman palawija pun begitu, umbi-umbian dan kacang-kacangan memenuhi lumbung-lumbung milik warga di halaman mereka. Tahun ini hasil panen cukup banyak. Rasa suka ria terlihat di wajah-wajah penduduk yang bermukim di desa tersebut.

Pemuka adat memiliki alasn yang kuat untuk menggelar ritual yangs udah turun temurun dilakukan itu.

Seekor kambing hasil patungan warga pun disembelih. Sesembahan lainnya berupa ketupat, penganan, dan bahan makanan disatukan dari warga yang secara sukarela membawanya dari rumah.

Gimba (gendang) pun mulai ditalu seiring dengan gerak tari para pemuka wadat yang mengelilingi pohon bamboo tempat mennggantungkan aneka persembahan. Mereka kompak, satu sama lainnya bergandengan tangan, melantukan Dadendate (nyanyian rakyat) dan pujian kepada Yang Maha Kuasa.

Ketua adat maju ke depan, menyatakan mantra dari bawah janur kuning yang merumbai di atasnya. Pekik warga tiba-tiba mengumandang, diikuti hysteria warga lainnya yang mengerumuni. “Terimalah ungkapan syukur kami atas pemberian dan perlindunganMU,” kata tetua adat itu dalam dadendate-nya.

Warga semakin merangsek ke dalam lingkaran penari menandai ritual tari Vunja segera berakhir. Dan, sontak warga tersebut berebut bahan makanan begitu ritual itu dinyatakan selesai.

Tepat pukul 06.00 Wita, atau di saat adzan maghrib akan berkumandang, ratusan warga itu kemudian berbondong-bondong pulang dengan wajah gembira. Mereka kini sudah bisa membuat acara keluarga, sunatan, pernikahan ataupun memperbaiki rumah, karena ritual Vunja baru saja usai dilaksanakan.

 

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Balia, Ritual Penyembuhan Adat yang Kian Tergeser

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan mantra penyembuhan dimulai. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan 4 orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. 7 wanita dan 2 pria menari secara beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk. Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa setempat, Kaili.

Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit. Warga, etnis Kaili yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah, baik secara individu maupun berkelompok dapat menggagas upacara adat ini, terlebih jika upaya medis telah dilakukan namun tak kunjung sembuh juga. Prosesinya bisa berlangsung hingga 7 hari dan 7 malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.

Di masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat. Prosesinya dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara, mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa terdiri dari ayam, kambing, atau kerbau, tergantung berada di kasta mana yang punya hajatan. Tentu saja seluruhnya ditanggung oleh yang punya hajatan ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual.

Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantera-manteranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan. Tari balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.

Melelahkan, begitulah adanya. Prosesi adat yang berlangsung seminggu non stop itu sungguh menguras tenaga dan waktu serta materi. Tapi efektifkah dalam mencapai tujuannya, yakni penyembuhan? Dari sejak hadirnya upacara Balia ini oleh leluhur, warga setempat sangat meyakini efektifitasnya. Meski tidak sedikit dari mereka yang sudah terkooptasi paham modernism menganggapnya tak lebih dari situs budaya yang perlu dijaga agar tidak punah dari keragaman bangsa. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Vunja Usai Panen

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Tradisi Karapan Sapi

Salah seorang peserta memacu sapinya dalam lomba karapan sapi yang digelar di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (22/4). Lomba tersebut dilaksanakan untuk membangkitkan kembali nilai-nilai olahraga tradisional yang sudah mulai ditinggalkan masyarakat. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Salah seorang peserta memacu sapinya dalam lomba karapan sapi yang digelar di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (22/4/2010). Lomba tersebut dilaksanakan untuk membangkitkan kembali nilai-nilai olahraga tradisional yang sudah mulai ditinggalkan masyarakat. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0