.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Memugar Kehidupan di Toro

SIANG itu cukup terik, tapi warga tetap berkerumun di sekitar rumah adat Lobo yang baru saja dipugar. Kegembiraan terlihat di rumah adat itu dengan jumbai-jumbai janur kuning yang menghias di setiap sisinya. Lantunan musik bambu tak henti-hentinya terdengar. Seekor kerbau hitam pun disembelih untuk menandai syukur tiada tara atas kembalinya Lobo yang asli. Rumah adat yang diharapkan memberi pencerahan kembali akan keapikan hidup.

Tetua adat mengambil tempat di pinggir tengah, lalu berjejer di sisi kiri dan kanan para pemuka adat yang berada di level bawahnya. Mereka mewakili seluruh komunitas adat yang berdiam di dataran Toro, sebuah wilayah yang masih menyimpan keunikan tertua penduduk asli Sulawesi Tengah beretnis Moma.

Tetua adat memberikan pesan-pesan dalam bahasa Kaili khas etnis Moma. Pesan itu sarat dengan kebajikan hidup, bukan hanya dalam kaitan hubungan sosial terhadap sesama manusia, tetapi juga dalam hubungan dengan lingkungan. Hidup adalah anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam, dan sepantasnyalah jika segala tindak tanduk mencerminkan rasa terima kasih kepada Tuhan dan alam.

Lobo menjadi lambang penjagaan integritas hidup, dia menjadi tempat bermufakat atas semua persoalan yang tumbuh dan berkembang bagi pemukim di sekitarnya. Di dalamnya tercermin kearifan lokal yang terus terjaga. Dengan harapan baru, mereka meletupkannya dengan syukur, santap siang bersama dan menari sakral raego sebagai wujud terima kasih. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Vunja Usai Panen

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Bertaruh Untuk Kelangsungan Hidup

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

BIBIR Pak Ahmad sumringah ketika kami tiba di dermaga Pulau Pasoso. Pulau ini terletak di selat Makassar yang dapat dijangkau sekitar 40 mil laut dari desa labean kabupaten donggala, Sulawesi tengah atau dengan jarak tempuh 3 jam dengan perahu motor 4 tenaga kuda. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil berlarian ke dermaga melihat kedatangan kami. Tatapan anak-anak itu sangat tajam, sesuatu yang aneh dilhat pada diri-diri kami. Tatapan tu beralasan karena selama ini keluarga Pak Ahmad sehari-hari hanya mengitari pulau dengan luas tidak lebih dari 64 hektar itu.

Pak Ahmad adalah sentral kekuasaan di pulau yang hanya dihuni keluarga besarnya itu. Seorang istri, 15 orang anak dengan rentang usia tertua berusia 26 tahun dan termuda 2 bulan, plus tiga menantu dan 5 cucu adalah wajah-wajah yang berada dalam distrik kekuasaannya. Pak Ahmad menjadi raja bagi pulau itu, menjadi pengawas bagi kelangsungan hidup sejumlah spesies dan lebih jauh lagi menjadi decision maker bagi setiap persoalan yang muncul ditengahnya.

Sejak turun temurun Pak Ahmad mendiami pulau tempat bertelurnya penyu hijau yang langka itu. Keberadaanya tidak digugat pemerintah setempat karena dia punya andil dalam pelestarian lingkungan sekitarnya. Ia sangat berperan bagi pelarangan nelayan menangkap ikan menggunakan media peledak atau bom, ia pula mengelilingi pulau setiap hari kalau-kalau ada yang merusak terumbu karang di sekitarnya.

Suatu hari yang lampau, Pak Ahmad bahkan menjadi pioneer dalam usaha pelestarian penyu hijau. Ia menjadi sosok penyelamat setelah menangkarkan bayi-bayi penyu hijau sebelum di lepas ke laut bebas. Ribuan ekor bayi penyu berenang dengan riang ketika usia bertahannya dicapai dan dapat mempertahankan diri dari ganasnya hukum rimba yang berlaku di laut bebas.

Kini dalam keterbatasan dan gerogotan usia, pak Ahmad beserta keluarganya tetap bertahan di pulau yang kerap menjadi persinggahan bagi nelayan lainnya yang kemalaman mencari ikan di laut. Sumberdaya yang ada disekitarnya dikelola berdasarkan kearifan local yang dipercayainya. Anak-anaknya pun tumbuh bersama alam laut. Sayangnya, tak satupun dari 15 anaknya yang bisa mengecap nikmatnya pendidikan formal.

Pak Ahmad terus bertahan dalam hembusan angin laut. Mampukah dia bertahan di tengah gemerlapnya kemajuan teknologi di pulau seberang sana? Hingga saat ini Pak Ahmad masih terus bertaruh.***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Setiawati, Harapan Tak Berujung

Setiawati terbaring lemas tak berdaya di bangsal rumah sakit.. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SETIAWATI, demikianlah nama gadis kelahiran 19 tahun lalu ini. Matanya menatap hampa ke arah langit-langit kamar Rumah Sakit Anutapura, Palu. Ia lemas, tak berdaya, tergolek dengan hanya mengandalkan kasih sayang ibu dan bapaknya. Sudah dua pekan Setiawati terbaring di ruang perawatan itu. Tapi bukan kali itu saja, sebelumnya dia juga pernah mengecap panasnya ruang perawatan di Puskesma sekitar rumahnya di Tawaili, Palu.

Ia hengkang dari tempat perawatannya yang pertama karena sakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, malah makin berlarut-larut. Di tempat baru ini, harapannya untuk sembuh pun makin tak berujung. Dokter yang diharap memberikan diagnosa tentang penyakitnya tak kunjung berkata-kata. “Dokter pun tak tahu dia ini sakit apa,” ujar ibu Setiawati lirih.

Untuk berkomunikasi, Setiawati hanya bisa menggunakan bahasa isyarat lewat kedipan-kedipan matanya. Buat orang lain, kedipan mata itu tentu tak bisa dipahami, namun lain bagi kedua orang tua yang membesarkannya. Setiap isyarat kedipan mata yang ditunjukkan Setiawati, dengan tangkas dapat diterjemahkannya. Ibu dan bapaknya segera menghampirinya, memiringkan badannya untuk mengganti sarung yang basah karena buang air kecil.

“Entahlah, sampai kapan harus begini. Saya tak tahu harus mau apa lagi. Dokter juga tidak tahu apa penyakitnya. Sudah pernah saya bawa ke dukun tak juga tak membuahkan hasil,” urai ibunya pasrah.

Setiawati kata ibunya, hanya merasa sakit kepala, yang kemudian disertai dengan panas. Seperti umumnya, sakit kepala dan demam diatasi dengan obat yang banyak tersedia di kios-kios. Itupun sangat sepela karena Setiawati sehari-harinya adalah seorang apoteker di saah satu apotek. Tapi berbeda dengan Setiawati, sakit kepala itu kunjung reda, malah makin menjadi-jadi. Segera dibawa ke Puskesmas terdekat dan seperti biasanya pula, dirinya mendapatkan obat-obat pereda sakit kepala dan penurun suhu badan.

Namun itu tak efektif, sakit kepalanya makin menjadi-jadi dan Puskesmas pun kembali menjadi sasaran. Dia di rawat hingga beberapa pekan, namun sakitnya tak hunjung sembuh. Justeru sebaliknya, sakit itu kian menggerogoti tubuhnya. Dia tak lagi bisa makan, minum apalagi beraktivitas.

Kini dia tergolek lemas di Rumah Sakit Anutapura tanpa diagnosa. Seperti sedang membayangkan kematian dalam tatapan hampa ke langit-langit kamar. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Sekolah Daun di Puncak Topesino

Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki

WAKTU sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita, tapi Indrawati Sambow (35) belum juga muncul. Rizal (32) dan Arjon (29) sesamanya guru bantu sudah tak sabar lagi. Keduanya mulai membayangkan perjalanan yang bakal melelahkan, karena terik matahari pasti akan membakar tubuhnya saat menyusuri jalan setapak menuju puncak gunung Topesino.

Di puncak gunung itu, sedikitnya terdapat 48 KK bermukim. Mereka nyaris terisolasi dari dunia luar karena tak ada satu pun sarana transportasi yang bisa digunakan untuk mencapainya selain berjalan kaki. Kemiringannya yang rata-rata lebih dari 45 derajat membuat siapapun selalu berpikir untuk melakukan perjalanan dari dan menuju dusun bernama Topesino yang masih berada di wilayah Desa Mantikole, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Tepat pukul 07.30, Indrawati akhirnya muncul juga. Mereka bertiga menyusuri jalan setapak berliku yang terus mendaki. Sesekali ketiganya terlihat berhenti untuk beristirahat, menyeka keringat dan meneguk air putih yang dibawa dari rumah masing-masing. Sesekali pula terdengar senandung merdu dari bibir Indrawati, mungkin saja seperti itulah dia menghibur dirinya melewati panggilan tugas.

Indrawati adalah guru bantu, sedangkan Rizal dan Arjon adalah tenaga honorer yang tamatan SMU. Sejak dua tahun terakhir, ketiganya mendedikasikan diri untuk menjadi tenaga pengajar kelas jauh SD Inpres Mantikole di Dusun Tompesino yang letaknya di puncak gunung tersebut.

Sebagai tenaga lepas, mereka rata-rata dibayar Rp.300.000 per triwulan untuk pengabdiannya itu. Ketiganya menetap di kaki gunung Topesino yang jaraknya tidak lebih dari lima kilometer dari puncak gunung itu. Jaraknya memang tidak seberapa, tapi setiap kali menuju sekolah mereka membutuhkan waktu tercepat sampai tiga jam karena medan yang terus mendaki dan berliku. “Pernah ada yang datang ke sekolah kami, mereka butuh waktu sampai 5 jam,” ujar Indrawati bangga, seolah menyatakan dirinya jauh lebih cepat dari orang yang tidak terbiasa melalui medan tersebut.

Tepat pukul 10.30, ketiganya sampai di sebuah pondok dengan sebuah bale-bale terbuat dari papan kasar. Pondok itu beratap rumput-rumput kering yang dibuat sedemikian rupa agar tidak tembus hujan. Berlantai tanah dengan bekas-bekas sisa pembakaran dan sebuah lubang agak besar di tengahnya. Di depan lubang itu tergantung sebuah papan tulis putih. “Inilah sekolah kami,” kata Indrawati.

Tampakan sekolah itu sudah berubah katanya, sebelumnya punya dinding dari daun-daun yang dianyam sedemikian rupa, makanya pula sebelumnya lebih popular disebut ‘Sekolah Daun’. “Tapi dinding itu sudah dilepas karena gelap,” imbuhnya.

Sekolah tidak langsung digelar, Indra bersama rekannya harus mendatangi rumah-rumah para muridnya untuk mengajaknya ke sekolah. Hanya sebagian diantara 20 orang muridnya yang memiliki seragam putih-merah, itupun bisa diadakan setelah warga kaki gunung menyumbang anak-anak tersebut dengan pakaian bekas.

Kumandang lagu Indonesia Raya terdengar dari gubuk yang disebut sebagai sekolah itu menandai dimulakannya kegiatan belajar. Indrawati memandu anak-anak bernyanyi penuh semangat. “Hari ini kita akan melanjutkan pelajaran kemarin,” kata Indra di depan kelas. Secara bergantian, Rizal dan Arjon juga membimbing anak-anak itu. Sebagian diantaranya sudah mahir membaca, namun sebagian lagi baru bisa mengenal huruf.

Sudah dua tahun terakhir ini ketiganya mengabdi untuk sekolah kelas jauh tersebut. Letih memang, tapi itulah pengabdian yang bisa dilakukannya untuk masa depan anak-anak bangsa, meski harus digaji Rp.100.000 per bulan. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Cap Darah Untuk Lingkungan

Ketua-ketua adat mencapai kesepakatan. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

GEMA pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 120 kilometer ke timur Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.

Beberapa waktu lalu, sebuah kegiatan adat digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang ketua adat yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerap kali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan adat yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesame manusia dan kepada lingkungan. Salah satu poinnya adalah, siapa-siapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa-siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hkum adapt. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Masih Ada Harapan

Ihsan (7 tahun) mendekap alat baca tulisnya di rumahnya. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 07.00, tapi Ihsan (7) sudah muncul di depan pintu Sekolah Terpadu Permata Hati di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Itu adalah rutinitas Ihsan sejak dua tahun terakhir ini. Ia dideteksi menderita autis sejak berusia 9 bulan. Menu paginya sebelum belajar adalah dibujuk. Yah… Ihsan harus dibujuk oleh gurunya kerena ia tidak selalu siap untuk belajar.

Kerap kali guru harus bergulat di kelas, apalagi jika Ihsan benar-benar sedang tidak mood. Mengamuk sudah menjadi hal biasa dan kepiawaian guru sungguh dibutuhkan. Tak jarang Ihsan harus dibelai, tapi tak jarang pula kakinya harus dijepit oleh kedua kaki gurunya jika tetap saja tidak bisa tenang.

Gejala umum yang dihadapi anak penderita autis adalah sulitnya berkonsentrasi terhadap suatu hal. Ia memiliki dunianya sendiri. Kelainan neurobiologis yang dibawanya sejak lahir memisahkannya dengan dunia luar.

Ihsan memiliki karakter yang berbeda dengan kebanyakan penderita autis lainnya. Ia begitu menggandrungi musik, suatu karakter yang sangat langka. Musik adalah dunianya, dan semuanya harus terbangun dengan dunia yang ada di kepalanya itu.

Suatu kali, ia diminta gurunya menuliskan kata “kursi”, tapi yang ditulisnya justru kata “Bon Jovi, Backstreet, Westlife”. Suatu kali pula ia diminta menyebutkan benda-benda yang ada di depannya, tapi justru senandung “Akhirnya Aku Menemukanmu” milik Naff yang meluncur dari bibirnya.

“Tak seorang pun orang tua yang menghendaki hal ini, tapi jika itu menimpa, kita tak boleh berputus asa atau menyalahkan siapa-siapa. Yang harus kita lakukan adalah mengenali kebutuhannya dan membantunya,” kata Ir Fitriani Kartawan MSi, pimpinan Sekolah Terpadu Permata Hati.

Gejala umum yang dapat dikenali pada anak autis seperti ini antara lain; senang membenturkan kepalanya sendiri jika sedang marah, sulit mengartikulasikan kata-kata, sulit berkonsentrasi pada suatu hal yang tidak disenangi. “Kadang juga jika dipanggil, ia seolah tidak mendengarkan, atu mendengar tapi tak beranjak dari tempatnya,” ungkap Fitriani.

Tapi Ihsan masih beruntung dibanding banyak anak penderita autis lainnya. Orang tuanya sangat menyadari kebutuhan khusus bagi anaknya. Sekolah terapi adalah sarana untuk membantu Ihsan memahami bahwa ada dunia luar selain dirinya. Pengertian yang mendalam untuk membantunya terus ditunjukkan. Di lingkungan rumah, Ihsan nyaris tak berbeda dengan anak-anak sebayanya.

Orang tua Ihsan bersyukur, melalui terapi khusus itu, lambat tapi pasti ia mulai menyadari dunia luar tersebut. Ihsan mulai paham makna lingkungan dan keteraturan yang ada di dalamnya.

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Senin Kelabu di Jalan Monginsidi

Pendeta Irianto Kongkoli telah pergi untuk selamanya. Namun semangat pengabdiannya masih melekat kuat di dada para jemaatnya. Ratusan warga dan jemaatnya mengiringinya ke tempat peristirahatan terakhir di Pekuburan Kristen Talise, Palu. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

HARI itu Senin, 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli keluar dari rumahnya yang terletak di Jalan Lorong Tanjung Maninmabaya. Pagi itu ia bergegas menuju toko bangunan yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi Palu, Sulawesi Tengah karena bahan bangunan untuk perbaikan rumah sudah habis dan semetara itu tukang bangunan akan segera bekerja.

Dengan mobil Super Kijang yang dikendarainya, ia menyusuri jalan dari Tanjung Manimbaya ke Monginsidi yang jaraknya relatif tidak terlalu jauh. Sesampai di depan toko, Irianto membuka pintu mobilnya lalu langsung masuk ke toko bangunan dimaksud.

Usai bertanya ke penjaga toko, ia kemudian ke depan toko itu untuk melihat-lihat bahan bangunan yang direncanakan akan dibelinya. Namun dor.. dor… tiba-tiba peluru timah melesat dari sebuah moncong pistol yang dibidikkan tidak jauh dari kendaraannya yang terparkir di pinggir jalan.

Irianto lagsung rubuh, sebuah peluru menerjang bagian kepalanya. Usai menembak, pengendara yang tidak dikenali itu langsung pergi meninggalkan tempat.

Panik.. penjaga toko tidak tahu harus berbuat apa kecuali meminta pertolongan. Ia berteriak dan seketika warga di sekitar toko datang berusaha membantu. Beberapa di antaranya berinisiatif untuk segera melarikan sang pendeta ke Rumah Sakit Bala Keselamatan yang juga tidak jauh dari lokasi kejadian.

Namun ajal sudah menjemput, nyawa pendeta Iriantio Kongkoli tidak bisa diselamatkan. Peluru yang bersarang di kepala pendeta sama sekali melumpuhkan denyut nadinya.

Mendapat laporan penembakan itu, polisi langsung bergegas ke TKP, mengamankan lokasi dan melakukan olah lokasi. Police lain dibentangkan dengan satuan polisi yang berjaga lengkap dengan bedil panjang.

Tak ada jejak hingga beberapa waktu kemudian.

Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) turun ke jalan. Mereka mendesak agar Polda Sulawesi Tengah lebih serius mengungkap pelaku penembakan pendeta tersebut.

Alhasil, tim Polda Sulteng berhasil mengungkapnya dan bahkan menangkap pelakunya. Kasus itu kemudian di rekonstruksi pada 29 Januari 2007. Ansar nama pelaku penembakan itu. Banyak yang tak percaya jika anak muda kurus berkacamata minus itu adalah pelakunya. Namun demikianlah adanya, Ansar dibui akibat tindakannya.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Poso Riot Convict

Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 1998-2005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 19982005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Item added to cart.
0 items - $0