.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Potapahi, Cuci Kampung Ala Suku Kulawi

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SERENTETAN musibah menimpa wilayah adat Kulawi dalam beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari gagal panen yang menyebabkan kurang tersedianya pangan, banjir bandang yang merenggut 3 korban jiwa, dan terakhir di bulan Agustus 2012 terjadi gempa bumi yang menewaskan 3 orang warga.

Musibah demi musibah itu dipercaya oleh warga sebagai kotornya kampung dan bercampurnya kebaikan dan keburukan yang menyebabkan kemurkaan Tuhan. Pencucian kampung atau oleh warga setempat disebut “potapahi” adalah jalan keluar untuk membersihkannya dengan harapan musibah itu tidak terjadi lagi.

Sejumlah pemangku adat menyiapkan ritual cuci kampung itu. Seekor kerbau sebagai persembahan dalam prosesinya adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi agar ritual adat itu bisa terlaksana dengan baik. Seluruh warga yang berada dalam wilayah adat Kulawi ikut berpartisipasi agar syarat-syarat itu bisa diadakan.

Pembacaan mantra dilakukan diikuti nyanyian-nyanyian dan tarian rakyat mengiringi kerbau yang ditarik ke pinggir sungai untuk disembelih. Darah kerbau dialirkan ke sungai sebagai simbol pencucian dan pembuangan kotoran dari kampung. Daging kerbau tidak dibawa kemana-mana melainkan di masak di tempat secara bergotong royong untuk disajikan kembali kepada seluruh warga.

Kulawi berada di wilayah adminstratif Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sejak lebih dari 100 tahun lalu, ritual potapahi ini baru digelar kembali. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Mpokeso & Mposuno

Dade ndate (nyanyian rakyat) terus dilantunkan oleh tetua adat mengiringi prosesi penyembelihan kerbau. (Foto: bmzIMAGEs/Basri Marzuki)

SETELAH 40 tahun, baru kali ini prosesi adat Mpokeso dan Mposuno kembali digelar di Banua Oge, yaitu rumah adat besar kediaman bangsawan. Mpokeso dan Mposuno adalah prosesi khitanan yang dilakukan kepada anak-anak bangsawan pada etnis Kaili, suku asli yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah. Mpokeso ditujukan kepada anak-anak perempuan dan Mposuna buat anak lelaki.

Prosesi itu menandai titik pertumbuhan seorang anak menjadi remaja. Kebahagiaan memasuki fase hidup baru itu dimaknai dengan penyembelihan kerbau yang kemudian dibagikan kepada warga sekitar dengan harapan, kemakmuran, kesehatan dan kebaikan akan menyertai pertumbuhan si anak yang akan dikhitan.

Prosesi diawali dengan pemasangan umbul-umbul di depan Banua Oge untuk memberitahukan kepada warga bahwa akan ada hajatan adat. Dilanjutkan dengan pemingitan yang berlangsung sehari penuh. Anak-anak yang akan dikhitan tak boleh keluar rumah. Pemingitan dilanjutkan dengan pemberian daun pacar seagai simbolisasi kesiapan dan kematangan dalam menjalani hidup berikutnya.

Tak sampai disitu, anak-anak yang akan dikhitan tersebut diusung mengelilingi persembahan kerbau yang nantinya daging kerbau itu diarak keliling kampung seraya membagi-bagikan kepada warga. Prosesi ini melambangkan sifat kedermawanan terhadap warga lainnya yang kurang mampu.

Ritual itu dilanjutkan dengan mandi kembang sebelum acara khtan dilakukan. Satu persatu anak tersebut bergiliran memasuki kelambu untuk dikhitan. Akhirnya, pembacaan doa keselamatan, semoga hari depan yang penuh tantangan akan dapat dilalui dengan baik dan mendapat berkah. Prosesi ini berlangsung tiga hari dan tiga malam penuh.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Balia, Ritual Penyembuhan Adat yang Kian Tergeser

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan mantra penyembuhan dimulai. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan 4 orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. 7 wanita dan 2 pria menari secara beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk. Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa setempat, Kaili.

Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit. Warga, etnis Kaili yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah, baik secara individu maupun berkelompok dapat menggagas upacara adat ini, terlebih jika upaya medis telah dilakukan namun tak kunjung sembuh juga. Prosesinya bisa berlangsung hingga 7 hari dan 7 malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.

Di masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat. Prosesinya dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara, mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa terdiri dari ayam, kambing, atau kerbau, tergantung berada di kasta mana yang punya hajatan. Tentu saja seluruhnya ditanggung oleh yang punya hajatan ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual.

Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantera-manteranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan. Tari balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.

Melelahkan, begitulah adanya. Prosesi adat yang berlangsung seminggu non stop itu sungguh menguras tenaga dan waktu serta materi. Tapi efektifkah dalam mencapai tujuannya, yakni penyembuhan? Dari sejak hadirnya upacara Balia ini oleh leluhur, warga setempat sangat meyakini efektifitasnya. Meski tidak sedikit dari mereka yang sudah terkooptasi paham modernism menganggapnya tak lebih dari situs budaya yang perlu dijaga agar tidak punah dari keragaman bangsa. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ikan Mola-Mola Raksasa

Sejumlah warga mengangkat ikan Molamola (hypopthalmichtys molitrix) raksasa yang terdampar di Pantai Taman Ria Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (11/2/2014). Ikan seberat lebih kurang 1 ton dan panjang lebih dari dua meter itu ditemukan seorang nelayan dalam kondisi masih hidup dan menyeretnya ke pantai namun sejam kemudian mati. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah warga mengangkat ikan Molamola (hypopthalmichtys molitrix) raksasa yang terdampar di Pantai Taman Ria Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (11/2/2014). Ikan seberat lebih kurang 1 ton dan panjang lebih dari dua meter itu ditemukan seorang nelayan dalam kondisi masih hidup dan menyeretnya ke pantai namun sejam kemudian mati. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Kilau Emas Poboya yang “Membutakan”

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

PANAS yang membakar kulit tak menghalangi para penambang emas tradisional di Dusun Vatutempa, Kelurahan Poboya, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah  untuk terus mengayungkan martil atau memahat bebatuan cadas. Bagi para penambang yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang datang dari luar pulau itu, emas memilik daya tarik tersendiri yang sulit dihindari ketika silaunya menerpa mata dan nilainya yang menebalkan kantong.

Ribuan warga datang berduyun-duyun mengeruk emas di wilayah tersebut. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pertambangan setempat, kandungan emas yang terdapat wilayah yang sebelumnya sudah dikontrakkan kepada pemodal asing itu bisa mencapai ribuan ton yang terpendam dalam bebatuan di bukit-bukit cadas.

Tak kurang dari sekitar 45 hektar lahan yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat itu kini meranggas akibat penggalian dan pemahatan gunung-gunung batu di dalamnya. Ratusan kilogram cairan kimia tertumpah akibat proses penangkapan emas melalui penggilingan-penggilaingan warga.

Penelitian yang dilakukan oleh individu dan Dinas Kesehatan setempat tiga tahun terakhir menyebutkan, kawasan itu telah tercemari kandungan kimia Sianida dan Mercury yang sudah di ambang batas. Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, udang kecil yang ditangkap nelayan di sekitar pantai Teluk Palu yang menjadi pembuangan limbah pengolahan emas itu, kini telah terkontaminasi zat mematikan itu.

Ini juga menjadi peringatan serius bagi warga yang bermukim di sekitarnya, karena suplai air bersih bagi penduduk di ibukota Palu berasal dari kawasan tersebut.

Kini, meski pemerintah daerah setempat menyadari dampak lingkungan dari pertambangan emas rakyat itu, namun aktivitas pertambangan masih tetap berjalan. Kilau emas telah membutakan mata-mata para pengambil kebijakan akan kelansungan hidup anak cucu mereka nantinya. ***

Naskah dan Foto: Basri marzuki

Kejurnas Jetski Teluk Palu

Sejumlah atlet memacu jetskinya pada Kejurnas Jetski 2013 yang digelar di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Senin (21/12/2013). Kejurnas Jetski putaran final yang diikuti puluhan atlit dari berbagai daerah itu berlagsung 21-22 Desember 2013 memperebutkan point tertinggi untuk meraih gelar juara nasional. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah atlet memacu jetskinya pada Kejurnas Jetski 2013 yang digelar di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, Senin (21/12/2013). Kejurnas Jetski putaran final yang diikuti puluhan atlit dari berbagai daerah itu berlagsung 21-22 Desember 2013 memperebutkan point tertinggi untuk meraih gelar juara nasional. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Karnaval Budaya

Seorang peserta dari Jember Fashion Carnaval (JFC) ikut memeriahkan pawai budaya nusantara di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (10/12/2013). Pawai budaya nusantara itu digelar untuk memeriahkan Hari Nusantara Nasional yang peringatannya dipusatkan di Palu pada 15 Desember. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Seorang peserta dari Jember Fashion Carnaval (JFC) ikut memeriahkan pawai budaya nusantara di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (10/12/2013). Pawai budaya nusantara itu digelar untuk memeriahkan Hari Nusantara Nasional yang peringatannya dipusatkan di Palu pada 15 Desember. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0