.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Setahun Bencana Sulawesi Tengah, BERGERAK BANGKIT

Lokasi tanah amblas tujuh meter akibat likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (26/9/2019). Lahan tersebut kini masuk dalam "Zona Merah" dan dijadikan Memorial Park. bmzIMAGES/Basri Marzuki

SEORANG bapak menengadahkan kedua tangannya di depan sebuah batu nisan tak bernama di Kompleks Pekuburan Poboya Palu, Sulawesi Tengah – tempat ribuan korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi dikubur massal. Mulutnya komat kamit memanjatkan doa bagi sang buang hati yang menjadi salah satu korban.

Di tempat lain, seorang ibu menatap kosong ke hamparan puing-puing rumah yang telah rata dengan tanah di bekas tempat tinggalnya di Kelurahan Balaroa. Memorial park seluas 136 hektare itu selalu membawa ingatan ibu itu tentang rumah dan keluarganya yang tertelan lumpur, hilang tak berbekas.

Dan di Pantai Talise, seorang pria duduk di atas bekas tanggul penahan ombak sembari mendekap kedua lututnya. Pandangannya lurus ke teluk yang membelah kota. Dia mengenang seorang perempuan pujaannya yang terenggut gelombang tsunami….

Namun cerita duka, sedih, dan keputusasaan itu sudah berlalu, berganti dengan gerak aktivitas untuk terus melanjutkan hidup karena hidup memang harus tetap berlanjut. Para korban bencana 28 September 2018 itu mematrikan diri untuk bangkit!!!

Setahun setelah bencana dahsyat itu, anak-anak kembali bergandengan tangan menuju sekolah-sekolah, pedagang meramaikan pasar, pegawai rutin ke tempat kerja, sopir mengangkut penumpang, SPBU mengisi BBM kendaraan, rumah sakit melayani pasien, bank menerima setoran simpanan, ekonomi berputar kembali, trauma akan bencana perlahan pulih.

Terdapat sekitar 53.172 Kepala Keluarga yang terdampak bencana pada Jumat, 28 September 2018 itu. Sebagian di antaranya telah menghuni hunian-hunian sementara (Huntara), baik yang dibangun oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR, BUMN, maupun oleh lembaga kemanusiaan non pemerintah.

Dalam rentang waktu masa tanggap darurat, sejumlah infrastruktur yang rusak telah tertangani. Listrik mengalir kembali ke pemukiman-pemukiman, tak terkecuali di Huntara-huntara. Sistem komunikasi yang sebelumnya lumpuh total kini berfungsi dengan normal kembali.

Kondisi normal seperti sebelumnya memang belum sepenuhnya terwujud, namun masa rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang berjalan diharapkan dapat mengejawantahkan kehadiran negara bagi para korban yang juga rakyat Indonesia. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Kembalinya KM Sabuk Nusantara 39 ke Laut

Donggala, Central Sulawesi, Indonesia (February 5, 2019): KM Sabuk Nusantara 39 ship glides into the sea after being pulled by a tug boat in Wani Port, Donggala, Central Sulawesi, Indonesia, Tuesday, February 5, 2019. After being on land due to the tsunami waves hit Last September 28, 2018, finally the Sea Toll boat owned by PT. The Pelni was finally pulled back into the sea by being driven by an excavator and pulled by a tug boat. Most of the residents who lived around regretted that the ship should have remained on land as a memory that there had been a devastating tsunami in the region. bmzIMAGES/Basri Marzuki

TEPAT pukul 18.54 Wita, KM Sabuk Nusantara 39 yang terhempas ke darat oleh gelombang tsunami 28 Spetember 2018 lalu di Pelabuhan Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, akhirnya kembali ke laut.

Kapal Tol Laut milik PT. Pelni yang berbobot mati 500 gross ton itu berhasil diluncurkan kembali ke laut setelah didorong oleh sebuah alat berat excavator dari darat dan sementara itu juga ditarik oleh sebuah tug boat dari laut.

By blocking muscarinic cholinergic receptors in the CNS, benztropine reduces the excessive cholinergic activity present in parkinsonism and related states. Azactam is used to treat severe infections of the blood, urinary tract, lungs, skin, stomach, or female reproductive organs. Compared to never being exposed to pioglitazone, a duration of pioglitazone therapy longer than 12 months was associated with a 40% increase in risk (HR 1 site. Concomitant or sequential antibiotic use was defined as exposure to another antibiotic within 24 hours (before or after) of ceftaroline administration, based on the electronic medication administration record.

“Waowwww…” serentak suara itu bergema ketika kapal tersebut meluncur mulus dari “air bag” atau bantalan karet berisi udara yang telah dipasang di bawah kapal tersebut sebelumnya. Prosesi peluncuran itu berlagsung hanya dalam hitungan detik hingga kapal yang telah “bermukim” selama lebih dari empat bulan itu mengapung kembali di laut.

Sesungguhnya, kapal itu telah dipersiapkan peluncurannya sejak 21 Januari 2019 lalu, namun karena masalah administrasi perizinan dari Kementerian Perhubungan selaku pemegang otoritas operasional kapal itu belum terbit, sehingga urung dilakukan.

“Proses awal telah dimulai dengan memasukkan ganjalan dari batang kelapa. Batang kelapa ini berfungsi mengangkat Badan kapal setinggi 50 cm sebelum memasukkan air bag. Air bag berfungsi sebagai pengganti rel,” kata kepala teknisi PT Samudera Rezeki Teknindo (Smart), Sarman awal Januari 2019 lalu.

Setelah mengapung di laut, kapal itu tidak langsung berlayar. Menurut teknisi, kapal itu akan dicek kembali kelayakannya untuk berlayar, karena telah lebih empat bulan terdiam di darat.

Sementara itu, aneka reaksi ditunjukkan warga sekitarnya atas kembalinya kapal yang telah menemaninya selama lebih dari empat bulan di kawasan itu.

“Aduh kasiang, sudah tidak adami kapalna,” ujar Mila, seorang warga yang mengaku bermukim tidak jauh dari kapal itu terhempas ke darat.

Lain lagi dengan Daeng yang juga warga setempat. Daeng mengaku menyesal tidak sempat menyaksikan langsung prosesi peluncuran kembali kapal itu ke laut. Padahal menurutnya, banyak kenangan yang ditorehkan sejak kapal itu berlabuh di darat.

“Sejak kapal itu naik ke darat, banyak orang yang datang melihatnya, kampong ini jadi ramai, banyak juga penjual bermunculan, juga parkiran bagi warga setempat. Tapi sekarang sudah pergi mi itu kapal kasiang,” ujar Daeng dengan ekspresi sedih.

Bagi Rustam yang juag warga di sekitar itu, seharusnya kapal itu tidak perlu ditarik ke laut atau dibiarkan di tempat itu saja sebagai penanda atau semacam memorial park bahwa telah terjadi bencana tsunami dahsyat di kawasan itu.

“Tapi itu cuma harapang saya, tapi kalau pemerintah maunya lain, mau diapami,” ujarnya dengan dialek Bugisnya.

Warga tetap bergerombol di kegelapan malam kawasan itu hingga beberapa saat untuk menyaksikan kapal itu yang sedang mengapung tidak jauh dari dermaga Pelabuhan Wani.

Mauka kurasa menangis, sedihku kurasa kapal itu ditarik,” celetuk Wati di gelapnya malam itu. []

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Memori yang Terserak di Puing Likuifaksi

Boneka anak yang terserak di Kelurahan Balaroa. bmzIMAGES/BasriMarzuki

JUMAT (28 September 2018) petang itu mungkin menjadi “kiamat kecil” bagi warga di Kelurahan Petobo dan Balaroa di Kota Palu dan juga Desa Jono Oge dan Sibalaya Utara Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Bagaimana tidak, getaran bumi yang menghentak hingga 7,4 Skala Richter menimbulkan kepanikan massal dan kekacauan masif. Tak hanya di empat wilayah itu, namun magnitudonya juga mencemaskan semua orang di seantero  Palu, Sigi, Donggala dan wilayah sekitarnya.

Berlari ke tempat terbuka mungkin sudah di luar kepala jika menghadapi situasi seperti itu, atau berlari ke tempat yang lebih tinggi ketika gempa disertai tsunami akan menerjang mungkin juga sudah menjadi prosedur baku sebagaimana pelajaran mitigasi bencana.

Likuifaksi atau pencairan dan pergeseran tanah mungkin pengecualian atas solutif itu. Entah karena langka terjadinya atau memang tidak terbetik di kepala bakal ada bencana yang menggulung permukaan tanah sepeti itu.

Apapun itu, likuifaksi telah menelan mentah-mentah perumahan dan bangunan yang ada di atas Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya Utara seluas lebih dari 600 hektare.

Yang tersisa hanyalah serakan kenangan orang-orang terkasih yang menghembuskan nafas terakhir dalam himpitan reruntuhan rumah dan bangunan serta kubangan lumpur yang memilukan.

Serakan itu akan menjadi “monument park” akan kuasa yang maha.

Tuhan, beri kekuatan atas musibah ini. Terimalah arwah korban dan tempatkanlah di sisiMU. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Sekolah Daun di Puncak Topesino

Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki

WAKTU sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita, tapi Indrawati Sambow (35) belum juga muncul. Rizal (32) dan Arjon (29) sesamanya guru bantu sudah tak sabar lagi. Keduanya mulai membayangkan perjalanan yang bakal melelahkan, karena terik matahari pasti akan membakar tubuhnya saat menyusuri jalan setapak menuju puncak gunung Topesino.

Di puncak gunung itu, sedikitnya terdapat 48 KK bermukim. Mereka nyaris terisolasi dari dunia luar karena tak ada satu pun sarana transportasi yang bisa digunakan untuk mencapainya selain berjalan kaki. Kemiringannya yang rata-rata lebih dari 45 derajat membuat siapapun selalu berpikir untuk melakukan perjalanan dari dan menuju dusun bernama Topesino yang masih berada di wilayah Desa Mantikole, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Tepat pukul 07.30, Indrawati akhirnya muncul juga. Mereka bertiga menyusuri jalan setapak berliku yang terus mendaki. Sesekali ketiganya terlihat berhenti untuk beristirahat, menyeka keringat dan meneguk air putih yang dibawa dari rumah masing-masing. Sesekali pula terdengar senandung merdu dari bibir Indrawati, mungkin saja seperti itulah dia menghibur dirinya melewati panggilan tugas.

Indrawati adalah guru bantu, sedangkan Rizal dan Arjon adalah tenaga honorer yang tamatan SMU. Sejak dua tahun terakhir, ketiganya mendedikasikan diri untuk menjadi tenaga pengajar kelas jauh SD Inpres Mantikole di Dusun Tompesino yang letaknya di puncak gunung tersebut.

Sebagai tenaga lepas, mereka rata-rata dibayar Rp.300.000 per triwulan untuk pengabdiannya itu. Ketiganya menetap di kaki gunung Topesino yang jaraknya tidak lebih dari lima kilometer dari puncak gunung itu. Jaraknya memang tidak seberapa, tapi setiap kali menuju sekolah mereka membutuhkan waktu tercepat sampai tiga jam karena medan yang terus mendaki dan berliku. “Pernah ada yang datang ke sekolah kami, mereka butuh waktu sampai 5 jam,” ujar Indrawati bangga, seolah menyatakan dirinya jauh lebih cepat dari orang yang tidak terbiasa melalui medan tersebut.

Tepat pukul 10.30, ketiganya sampai di sebuah pondok dengan sebuah bale-bale terbuat dari papan kasar. Pondok itu beratap rumput-rumput kering yang dibuat sedemikian rupa agar tidak tembus hujan. Berlantai tanah dengan bekas-bekas sisa pembakaran dan sebuah lubang agak besar di tengahnya. Di depan lubang itu tergantung sebuah papan tulis putih. “Inilah sekolah kami,” kata Indrawati.

Tampakan sekolah itu sudah berubah katanya, sebelumnya punya dinding dari daun-daun yang dianyam sedemikian rupa, makanya pula sebelumnya lebih popular disebut ‘Sekolah Daun’. “Tapi dinding itu sudah dilepas karena gelap,” imbuhnya.

Sekolah tidak langsung digelar, Indra bersama rekannya harus mendatangi rumah-rumah para muridnya untuk mengajaknya ke sekolah. Hanya sebagian diantara 20 orang muridnya yang memiliki seragam putih-merah, itupun bisa diadakan setelah warga kaki gunung menyumbang anak-anak tersebut dengan pakaian bekas.

Kumandang lagu Indonesia Raya terdengar dari gubuk yang disebut sebagai sekolah itu menandai dimulakannya kegiatan belajar. Indrawati memandu anak-anak bernyanyi penuh semangat. “Hari ini kita akan melanjutkan pelajaran kemarin,” kata Indra di depan kelas. Secara bergantian, Rizal dan Arjon juga membimbing anak-anak itu. Sebagian diantaranya sudah mahir membaca, namun sebagian lagi baru bisa mengenal huruf.

Sudah dua tahun terakhir ini ketiganya mengabdi untuk sekolah kelas jauh tersebut. Letih memang, tapi itulah pengabdian yang bisa dilakukannya untuk masa depan anak-anak bangsa, meski harus digaji Rp.100.000 per bulan. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Poso Riot Convict

Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 1998-2005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Three Poso riot defendants, Fabianus Tibo (left), Marunis Ruwu (center), and Dominggus da Silva (right) attend a judicial review hearing at the Petobo Penitentiary in Palu, Central Sulawesi, Indonesia, March 9, 2006. All three were executed after the local District Court convicted them of premeditated murder during the 19982005 period of unrest. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Item added to cart.
0 items - $0