.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Peternakan Leluhur di Lembah Lore Poso

Meski menghadapi masalah bibit atau anakan, pera pemangku adat tetap berusaha menjalankan amanah adat atas peternakan itu. Sesekali mereka turun ke lapangan melihat langsung kondisi ternak-ternak itu. bmzIMAGES/Basri Marzuki

KABUT  masih berarak di langit. Pagi yang dingin masih menyelimuti Lembah Lore. Tetapi Suwardi Tudai, ketua penggembala di peternakan leluhur di desa Winowanga, Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu sudah beranjak dari rumahnya. Ia akan memastikan kerbau dan sapi-sapi siap dilepas ke padang savana yang luasnya seujung mata memandang.

Pharmacokinetics: The extent of percutaneous absorption of topical corticosteroids is determined by many factors including the vehicle, the integrity of the epidermal barrier, and the use of occlusive dressings. Cefprozil is in a class of medications called cephalosporin antibiotics. Do not use a second inhaled bronchodilator that contains formoterol, arformoterol, indacaterol, olodaterol, salmeterol, or formoterol www.farmaciasinreceta.net. Symptoms include: • Very slow heart rate.

Begitulah setiap harinya, ratusan kerbau dan sapi diternakkan di padang 2.500 hektare itu. Peternakan yang sudah ada sejak tahun 1818 itu dikelola secara turun temurun oleh keluarga dan menjadi warisan leluhur yang terus dipertahankan dari generasi ke generasi.

Lebih dari dua abad berlalu, peternakan yang pengelolaannya juga dicampuri oleh lembaga adat setempat masih bertahan hingga kini. Kehadiran lembaga adat di peternakan leluhur itu bukan tanpa alasan, karena distribusi seluruh hasil ternak hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisi yang melanggengkan adat.

“Kerbau dan sapi di peternakan ini juga dijual, tapi tidak untuk umum, jadi hanya untuk kegiatan adat seperti pesta pernikahan, selamatan, atau kegiatan adat lainnya. Hasilnya penjualannya digunakan kembali untuk membiayai peternakan ini,” aku SN Ama, ketua adat setempat.

Meski langgeng hingga kini, kearifan mengelola peternakan leluhur itu bukan tanpa masalah. Problem anakan atau bibit kerbau dan sapi menjadi ganjalan utama. Angka fertilitas hewan ternak di peternakan itu terbilang sangat rendah. Bagaimana tidak, rasio ternak pejantan terhadap terhadap betina hanya 1:12, padahal idealnya 1:5.

Pemerintah Desa Winowanga berusaha turun tangan, namun keterbatasan dalam banyak hal tidak memberi solusi siginifikan bagi kerbelanjutan peternakan leluhur itu.

“Sudah beberapa kali kami memohon kepada dinas terkait, namun hingga kini belum ada realisasinya,” ungkap  Alpius Rangka, kepala Desa Winowanga.

Dan kini, satu-satunya peternakan leluhur bernilai historis yang selalu mengundang decak kagum setiap pengunjung itu sedang “megap-megap” menjalani hari-harinya. Kerbau dan sapi-sapi beserta penggembala dan tetua adatnya sedang “tertatih-tatih” melanggengkan cerita peradaban di daerah itu. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Mosintuwu Festival in Poso, Central Sulawesi

Sejumlah warga suku Pamona dari Desa Tomahipi menyanyikan lagu "Oh Tampo Lore"" pada Festival Mosintuwu (Kebersamaan) di Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (1/11/2019) malam. Selain menampilkan kekhasan budaya suku Pamona, festival yang berlangsung hingga 2 November 2019 itu juga menampilkan berbagai atraksi seni dari 15 desa yang ikut serta. bmzIMAGES/Basri Marzuki

INSTITUT Mosintuwu menggelar Festival Mosintuwu pada 31 Oktober hingga 2 November 2019 di Kota Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Festival yang berbasis komunitas dan menampilkan keanekaragaman alam, budaya dan tradisi itu berhasil menguatkan identitas Poso.

National Library of Medicine: Drug Information Portal – Amiodarone • Amiodarone (FDA MedWatch see: Information for Healthcare Professionals: Amiodarone (marketed as Cordarone) [ARCHIVED] ) • (2005 Drug Safety Information, archived) • “Amiodarone”. Talk • This medicine may affect certain lab tests. A newer anti-Parkinson MAO-B inhibitor, rasagiline, metabolizes into 1( R)-aminoindan, which has no amphetamine-like characteristics www.apotek24.org. Clinical studies have been performed to determine the serological responses after immunization.

“Festival ini dengan sangat baik menggambarkan napas sebuah festival yang dikelola oleh masyarakat dan untuk masyarakat,” kata Joshua Marunduh, kontributor National Geographic Indonesia.

Tidak ada acara seremoni dengan pidato yang panjang, Festival Mosintuwu dibuka dengan karnaval hasil bumi dari 17 desa/kelurahan dari Kabupaten Poso. Sepanjang jalan, kelompok perempuan dengan pakaian petani dan khas suku masing-masing membawa hasil bumi yang dihias khusus sambil bernyanyi lagu “desaku” atau “orang tani orang merdeka”.

Acara kuliner dari tradisi suku-suku di Poso memperkaya makna festival Mosintuwu sebagai festival tradisi Poso.  Pada hari pertama, ada acara Moapu( memasak) diikuti oleh 8 desa yang mempersembahkan beragam masakan dengan bahan organik yang dikelola dengan tradisi lokal.

Malam harinya, pengunjung festival diajak untuk Molimbu atau makan bersama makanan yang dibawa oleh warga. Desa-desa dari Lore Barat memberikan makanan di atas bingka besar untuk dimakan bersama, yang mereka sebut Modulu-dulu. Sementara desa-desa lainnya membungkus makanan dari daun. Semua pengunjung makan menggunakan pingku, wadah makan dari daun silar, dan suke, alat minum dari bambu.

“Kuliner persembahan dari empat suku di acara Nyami To Poso, atau Selera orang Poso, menjadi agenda wajib di Festival Mosintuwu” cerita Martince, koordinator pengorganisasian Institut Mosintuwu.

Menurut Martince, acara demo masak dari suku Mori, Pamona, Napu, dan Bada  di hari kedua festival ini menjadi ruang bagi warga untuk bangga dengan kuliner desa dan sukunya yang bersumber dari alam desa.

Demikian pula, gelaran hasil bumi yang dipajang di lokasi pasar desa Festival Mosintuwu, serta karya-karya kreatif kerajinan yang dibuat oleh berbagai komunitas di stand pameran Festival Mosintuwu. Tidak ketinggalan, pojok etnobotani dan iktiologi Danau Poso yang banyak dikunjungi pelajar, menampilkan 94 jenis botani di Kabupaten Poso dan ikan-ikan endemik di 5 aquarium .

Berbagai workshop yang diadakan di Festival Mosintuwu, mengajak peserta untuk menguatkan konsep kemakmuran yang ada di desa dengan menyadari perkembangan dunia.

Workshop sosial media yang dibawakan oleh Gusdurian, misalnya, mengajak peserta untuk menggunakan sosial media bukan untuk menyebarkan kebencian tapi menyebarkan kabar baik dari Poso. Workshop fotografi desa yang difasilitasi oleh Rara Sekar dan Ben Laksana, juga mengajak anak muda untuk melihat dengan detail desa sebagai subyek foto yang menarik untuk diceritakan.

“Saya ikut workshop musik tradisi, karena penasaran dengan bagaimana musik tradisi bisa menjadi lebih digunakan oleh kami yang muda tanpa takut dibilang ketinggalan jaman” ujar Asri, seorang peserta workshop musik tradisi yang difasilitasi oleh Nardi Banggai dan Pedati.

Workshop lainnya yang tidak kalah seru dan diminati oleh peserta dan pengunjung adalah workshop inovasi untuk perempuan yang difasilitasi oleh Kopernik. Workshop ini memperkenalkan konsep baru penggunaan pembalut yang aman dan ramah lingkungan , bahkan dapat dibuat sendiri.

Gina dari Kopernik mengatakan “Inovasi ini adalah cara Kopernik untuk mengurangi penggunaan sampah plastik berdasarkan kebutuhan perempuan”.

Penjelasan Gina langsung disambut dengan antusias oleh para perempuan untuk bekerjasama dengan Institut Mosintuwu punya proyek khusus membuat pembalut  aman yang dapat dipakai ulang. Workshop ini melengkapi penjelasan Kopernik dalam pemutaran film “Pulau Plastik” sebuah kampanye tentang menolak penggunaan sampah plastik.

Beragam kegiatan lainnya, seperti bertemu pengrajin, custompainting, geowisata Danau Poso, dan seminar Ekspedisi Poso menjadi penguatan bersama tentang keanekaragaman hayati Poso yang harus dijaga.

Hal ini diperkuat kembali melalui pagelaran musik tradisi yang memperkenalkan cerita tentang desa dan lingkungan melalui folksong, teater rakyat, pagelaran geso-geso oleh anak-anak. Apalagi pada malam terakhir penyelenggaraan festival, konser musik Festival Mosintuwu diisi oleh musisi dan pegiat sosial seperti Rara Sekar, MAN, Pedati, Culture Project, Guritan Kabudul, Temperament Navigasi .

“Saya mengagumi solidaritas yang terbangun bukan hanya oleh warga desa tapi juga oleh para seniman, dan musisi yang hadir di Festival Mosintuwu,” kata Rara Sekar, musisi dan peneliti sosiologi antropologi  ini memberikan harapan tentang desa yang bisa terus dijaga kearifan lokal dan alamnya.

Ini adalah tahun ke empat penyelenggaraan Festival Mosintuwu oleh Institut Mosintuwu. Lian Gogali, pendiri dan inisiator Festival Mosintuwu menyebutkan bahwa festival diselenggarakan untuk membuka ruang bertemu, belajar serta merayakan kekayaan budaya, alam dan keanekaragaman hayati di desa Poso.

“Agar kebijakan pembangunan di Poso bisa berakar pada pengelolaan keanekaragaman hayati dan alam Poso yang bukan hanya berpihak pada rakyat, tapi juga bersolidaritas pada alam. Selain bahwa ada ruang agar desa-desa mempercayai dirinya, agar tidak digerus oleh produksi instan dari pabrik-pabrik yang mengeksploitasi alam” pungkas Lian. (bmz)

Mengukuhkan Seni dan Budaya dalam Lalove

Mengukur bambu untuk pembuatan lalove. bmzIMAGES/Basri Marzuki

TIDAK ada catatan sejarah tentang kapan alat musik tiup bernama Lalove ini mulai digunakan oleh masyarakat to Kaili. Kaili adalah etnis mayoritas yang mendiami sebagian besar lembah Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

Yang pasti, pada setiap ritual adat terutama upacara penyembuhan yang disebut “Balia”, alat musik tiup ini selalu hadir bersama gimba (gendang) yang mengiringi upacara tersebut.

Di zamannya, lalove begitu sakral. Untuk membuatnya harus melalui prosedur adat yang sarat dengan unsur magic. Dimulai dengan pemilihan bambu, melepaskan ranting-rantingnya, hingga memotong ruas dan menentukan titik-titik lubangnya dilakukan dengan mantra.

Pemanteraan itu sesuai dengan maksudnya yakni ketika ditiup atau dibunyikan akan memiliki keuatan supra natural untuk memaggil roh. Dalam ritual penyembuhan Balia, peran lalove sangat penting karena menentukan seperti apa roh itu bisa masuk ke tubuh seeorang yang sedang dalam proses penyembuhan. Karena itu pula, peniup lalove adalah mereka yang memiliki keahlian dan kekuatan natural itu pula.

Namun itu dulu, kini Lalove tidak lagi sekadar mengiringi ritual penyembuhan. Beberapa ritual atau bahkan drama seni, tari kreasi dan juga musik kontemporer pun memanfaatkan alat musik khas yang terbuat dari buluh (bambu) pilihan ini.

Perjalanan waktu mengubah unsur magic yang melekat dalam lalove. Ia bisa diproduksi secara massal dengan mengesampingkan unsur magic tersebut. Secara ekonomis, Lalove bukanlah unit bisnis yang menggiurkan, pertama karena pasarnya sangat terbatas di kalangan tertentu, kedua tidak banyak orang yang mau menggelutinya. Itu pula alasan mengapa mendapatkan Lalove terasa begitu sulit.

Namun di pelosok Kabupaten Sigi, tepatnya di Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, masih ada yang peduli dengan pelestarian alat musik tiup khas ini. “Bukan unsur ekonomisnya, tapi lebih kepada bagaimana agar alat musik ini tetap ada dalam khasanah seni dan budaya kita, to Kaili,” ujar Yayan Kololio, perajin Lalove itu.

Menurutnya, tidak cukup sulit untuk membuat Lalove. Tiga jam baginya cukup untuk bisa menyelesaikan satu unit Lalove. “Tapi itu tadi, unsur magicnya kita kesampingkan. Kecuali kalau membuat Lalove khusus, butuh waktu yang lebih panjang,” sebut Yayan.

Selama tiga tahun menggeluti kerajinan Lalove itu, cukup memadai Lalove yang bisa dihasilkan. Umumnya Lalove itu dibuatkan berdasarkan pesanan, seperti anak-anak sekolah yang dalam kurikulumnya mengajarkan tentang alat music tradisional. Selain itu beberapa sanggar seni kerap kali mengorder untuk keperluan sanggarnya.

Suatu kebanggaan menurutnya karena meski jauh di pelosok, namun suara Lalove itu banyak pula diminati oleh orang di luar etnis to Kaili. Lalove yang dibuatnya bahkan sudah menjamah beberapa seniman di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Makassar, Semarang dan Jawa sebagiannya.

Pengetahuan membuat Lalove diakuinya didapatkan secara otodidak. Ia mengaku tidak memiliki silsilah pembuat atau pengguna Lalove. “Ini spontan saja, saya mendengar bunyi Lalove dalam sebuah upacara Balia dan saat itu saya tergerak untuk mencoba membuatnya. Itulah awalnya,” aku Yayan.

Ia berharap ke depan akan banyak anak muda yang menekuni pembuatan Lalove tersebut terkait dengan regenerasi. Karena menurutnya, jika semua berpaling dari kekhasan seni dan budaya lokal, entah apa jadinya to Kaili nantinya. Bisa jadi hanya tersisa cerita saja. ***

Teks dan Foto: Basri Marzuki

Mengucap Syukur dengan Ritual Vunja

Ritual segera dimulakan. Pemuka adat menyiapkan sesembahan di awah pohon bambu di Desa Binangga, Kecamatan marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Di tengah rerimbunan pohon kelapa di sebuah kebun di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkumpul ratusan warga. Mereka bersama para pemuka adat di wilayah itu sedang menggelar ritual adat bernama Vunja.

Vunja adalah ritual adat sebagai pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Ritual itu dilaksanakan oleh etnis Kaili, etnis asli dan mayoritas yang mendiami lembah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutung di Sualwesi Tengah.

Desa itu memang baru saja melaksanakan panen raya. Tahun ini hasil panen cukup melimpah. Tanaman padi tumbuh subur dan cukup banyak memberikan hasil. Tanaman palawija pun begitu, umbi-umbian dan kacang-kacangan memenuhi lumbung-lumbung milik warga di halaman mereka. Tahun ini hasil panen cukup banyak. Rasa suka ria terlihat di wajah-wajah penduduk yang bermukim di desa tersebut.

Pemuka adat memiliki alasn yang kuat untuk menggelar ritual yangs udah turun temurun dilakukan itu.

Seekor kambing hasil patungan warga pun disembelih. Sesembahan lainnya berupa ketupat, penganan, dan bahan makanan disatukan dari warga yang secara sukarela membawanya dari rumah.

Gimba (gendang) pun mulai ditalu seiring dengan gerak tari para pemuka wadat yang mengelilingi pohon bamboo tempat mennggantungkan aneka persembahan. Mereka kompak, satu sama lainnya bergandengan tangan, melantukan Dadendate (nyanyian rakyat) dan pujian kepada Yang Maha Kuasa.

Ketua adat maju ke depan, menyatakan mantra dari bawah janur kuning yang merumbai di atasnya. Pekik warga tiba-tiba mengumandang, diikuti hysteria warga lainnya yang mengerumuni. “Terimalah ungkapan syukur kami atas pemberian dan perlindunganMU,” kata tetua adat itu dalam dadendate-nya.

Warga semakin merangsek ke dalam lingkaran penari menandai ritual tari Vunja segera berakhir. Dan, sontak warga tersebut berebut bahan makanan begitu ritual itu dinyatakan selesai.

Tepat pukul 06.00 Wita, atau di saat adzan maghrib akan berkumandang, ratusan warga itu kemudian berbondong-bondong pulang dengan wajah gembira. Mereka kini sudah bisa membuat acara keluarga, sunatan, pernikahan ataupun memperbaiki rumah, karena ritual Vunja baru saja usai dilaksanakan.

 

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Potapahi, Cuci Kampung Ala Suku Kulawi

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SERENTETAN musibah menimpa wilayah adat Kulawi dalam beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari gagal panen yang menyebabkan kurang tersedianya pangan, banjir bandang yang merenggut 3 korban jiwa, dan terakhir di bulan Agustus 2012 terjadi gempa bumi yang menewaskan 3 orang warga.

Musibah demi musibah itu dipercaya oleh warga sebagai kotornya kampung dan bercampurnya kebaikan dan keburukan yang menyebabkan kemurkaan Tuhan. Pencucian kampung atau oleh warga setempat disebut “potapahi” adalah jalan keluar untuk membersihkannya dengan harapan musibah itu tidak terjadi lagi.

Sejumlah pemangku adat menyiapkan ritual cuci kampung itu. Seekor kerbau sebagai persembahan dalam prosesinya adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi agar ritual adat itu bisa terlaksana dengan baik. Seluruh warga yang berada dalam wilayah adat Kulawi ikut berpartisipasi agar syarat-syarat itu bisa diadakan.

Pembacaan mantra dilakukan diikuti nyanyian-nyanyian dan tarian rakyat mengiringi kerbau yang ditarik ke pinggir sungai untuk disembelih. Darah kerbau dialirkan ke sungai sebagai simbol pencucian dan pembuangan kotoran dari kampung. Daging kerbau tidak dibawa kemana-mana melainkan di masak di tempat secara bergotong royong untuk disajikan kembali kepada seluruh warga.

Kulawi berada di wilayah adminstratif Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sejak lebih dari 100 tahun lalu, ritual potapahi ini baru digelar kembali. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Mpokeso & Mposuno

Dade ndate (nyanyian rakyat) terus dilantunkan oleh tetua adat mengiringi prosesi penyembelihan kerbau. (Foto: bmzIMAGEs/Basri Marzuki)

SETELAH 40 tahun, baru kali ini prosesi adat Mpokeso dan Mposuno kembali digelar di Banua Oge, yaitu rumah adat besar kediaman bangsawan. Mpokeso dan Mposuno adalah prosesi khitanan yang dilakukan kepada anak-anak bangsawan pada etnis Kaili, suku asli yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah. Mpokeso ditujukan kepada anak-anak perempuan dan Mposuna buat anak lelaki.

Prosesi itu menandai titik pertumbuhan seorang anak menjadi remaja. Kebahagiaan memasuki fase hidup baru itu dimaknai dengan penyembelihan kerbau yang kemudian dibagikan kepada warga sekitar dengan harapan, kemakmuran, kesehatan dan kebaikan akan menyertai pertumbuhan si anak yang akan dikhitan.

Prosesi diawali dengan pemasangan umbul-umbul di depan Banua Oge untuk memberitahukan kepada warga bahwa akan ada hajatan adat. Dilanjutkan dengan pemingitan yang berlangsung sehari penuh. Anak-anak yang akan dikhitan tak boleh keluar rumah. Pemingitan dilanjutkan dengan pemberian daun pacar seagai simbolisasi kesiapan dan kematangan dalam menjalani hidup berikutnya.

Tak sampai disitu, anak-anak yang akan dikhitan tersebut diusung mengelilingi persembahan kerbau yang nantinya daging kerbau itu diarak keliling kampung seraya membagi-bagikan kepada warga. Prosesi ini melambangkan sifat kedermawanan terhadap warga lainnya yang kurang mampu.

Ritual itu dilanjutkan dengan mandi kembang sebelum acara khtan dilakukan. Satu persatu anak tersebut bergiliran memasuki kelambu untuk dikhitan. Akhirnya, pembacaan doa keselamatan, semoga hari depan yang penuh tantangan akan dapat dilalui dengan baik dan mendapat berkah. Prosesi ini berlangsung tiga hari dan tiga malam penuh.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Balia, Ritual Penyembuhan Adat yang Kian Tergeser

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan mantra penyembuhan dimulai. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan 4 orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. 7 wanita dan 2 pria menari secara beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk. Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa setempat, Kaili.

Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit. Warga, etnis Kaili yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah, baik secara individu maupun berkelompok dapat menggagas upacara adat ini, terlebih jika upaya medis telah dilakukan namun tak kunjung sembuh juga. Prosesinya bisa berlangsung hingga 7 hari dan 7 malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.

Di masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat. Prosesinya dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara, mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa terdiri dari ayam, kambing, atau kerbau, tergantung berada di kasta mana yang punya hajatan. Tentu saja seluruhnya ditanggung oleh yang punya hajatan ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual.

Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantera-manteranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan. Tari balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.

Melelahkan, begitulah adanya. Prosesi adat yang berlangsung seminggu non stop itu sungguh menguras tenaga dan waktu serta materi. Tapi efektifkah dalam mencapai tujuannya, yakni penyembuhan? Dari sejak hadirnya upacara Balia ini oleh leluhur, warga setempat sangat meyakini efektifitasnya. Meski tidak sedikit dari mereka yang sudah terkooptasi paham modernism menganggapnya tak lebih dari situs budaya yang perlu dijaga agar tidak punah dari keragaman bangsa. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Memugar Kehidupan di Toro

SIANG itu cukup terik, tapi warga tetap berkerumun di sekitar rumah adat Lobo yang baru saja dipugar. Kegembiraan terlihat di rumah adat itu dengan jumbai-jumbai janur kuning yang menghias di setiap sisinya. Lantunan musik bambu tak henti-hentinya terdengar. Seekor kerbau hitam pun disembelih untuk menandai syukur tiada tara atas kembalinya Lobo yang asli. Rumah adat yang diharapkan memberi pencerahan kembali akan keapikan hidup.

Tetua adat mengambil tempat di pinggir tengah, lalu berjejer di sisi kiri dan kanan para pemuka adat yang berada di level bawahnya. Mereka mewakili seluruh komunitas adat yang berdiam di dataran Toro, sebuah wilayah yang masih menyimpan keunikan tertua penduduk asli Sulawesi Tengah beretnis Moma.

Tetua adat memberikan pesan-pesan dalam bahasa Kaili khas etnis Moma. Pesan itu sarat dengan kebajikan hidup, bukan hanya dalam kaitan hubungan sosial terhadap sesama manusia, tetapi juga dalam hubungan dengan lingkungan. Hidup adalah anugerah yang diberikan Tuhan melalui alam, dan sepantasnyalah jika segala tindak tanduk mencerminkan rasa terima kasih kepada Tuhan dan alam.

Lobo menjadi lambang penjagaan integritas hidup, dia menjadi tempat bermufakat atas semua persoalan yang tumbuh dan berkembang bagi pemukim di sekitarnya. Di dalamnya tercermin kearifan lokal yang terus terjaga. Dengan harapan baru, mereka meletupkannya dengan syukur, santap siang bersama dan menari sakral raego sebagai wujud terima kasih. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Vunja Usai Panen

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Sejumlah tetua adat menari sambil melantunkan puji-pujian mengelilingi aneka persembahan hasil panen pada pesta adat Vunja di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (8/5/2012). Vunja adalah pesta adat usai panen yang digelar sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Pesta itu telah menjadi tradisi warga setempat secara turun temurun. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0