.....local content, discussed globally....

We cover various issues developing in the Palu, Central Sulawesi and surrounding areas.
We chose it for you. We are trusted for that..Please explore further

Mengucap Syukur dengan Ritual Vunja

Ritual segera dimulakan. Pemuka adat menyiapkan sesembahan di awah pohon bambu di Desa Binangga, Kecamatan marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. bmzIMAGES/Basri Marzuki

Di tengah rerimbunan pohon kelapa di sebuah kebun di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkumpul ratusan warga. Mereka bersama para pemuka adat di wilayah itu sedang menggelar ritual adat bernama Vunja.

Vunja adalah ritual adat sebagai pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Ritual itu dilaksanakan oleh etnis Kaili, etnis asli dan mayoritas yang mendiami lembah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutung di Sualwesi Tengah.

Desa itu memang baru saja melaksanakan panen raya. Tahun ini hasil panen cukup melimpah. Tanaman padi tumbuh subur dan cukup banyak memberikan hasil. Tanaman palawija pun begitu, umbi-umbian dan kacang-kacangan memenuhi lumbung-lumbung milik warga di halaman mereka. Tahun ini hasil panen cukup banyak. Rasa suka ria terlihat di wajah-wajah penduduk yang bermukim di desa tersebut.

Pemuka adat memiliki alasn yang kuat untuk menggelar ritual yangs udah turun temurun dilakukan itu.

Seekor kambing hasil patungan warga pun disembelih. Sesembahan lainnya berupa ketupat, penganan, dan bahan makanan disatukan dari warga yang secara sukarela membawanya dari rumah.

Gimba (gendang) pun mulai ditalu seiring dengan gerak tari para pemuka wadat yang mengelilingi pohon bamboo tempat mennggantungkan aneka persembahan. Mereka kompak, satu sama lainnya bergandengan tangan, melantukan Dadendate (nyanyian rakyat) dan pujian kepada Yang Maha Kuasa.

Ketua adat maju ke depan, menyatakan mantra dari bawah janur kuning yang merumbai di atasnya. Pekik warga tiba-tiba mengumandang, diikuti hysteria warga lainnya yang mengerumuni. “Terimalah ungkapan syukur kami atas pemberian dan perlindunganMU,” kata tetua adat itu dalam dadendate-nya.

Warga semakin merangsek ke dalam lingkaran penari menandai ritual tari Vunja segera berakhir. Dan, sontak warga tersebut berebut bahan makanan begitu ritual itu dinyatakan selesai.

Tepat pukul 06.00 Wita, atau di saat adzan maghrib akan berkumandang, ratusan warga itu kemudian berbondong-bondong pulang dengan wajah gembira. Mereka kini sudah bisa membuat acara keluarga, sunatan, pernikahan ataupun memperbaiki rumah, karena ritual Vunja baru saja usai dilaksanakan.

 

Naskah dan foto: Basri Marzuki

 

Pesona Poso di Telaga Tambing

Pengunjung bertenda di bibir Telaga Tambing. Pada hari libur, bibir telaga ini dipenuhi dengan tenda-tenda aneka warna. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SEJAK konflik horizontal itu pecah di 1998, Kabupaten Poso yang terletak sekitar 250 kilometer arah Timur Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah nyaris identik dengan kerusuhan, perpecahan, pengkotak-kotakan agama hingga terorisme.

Kondisi itu sesungguhnya tidak selaras dengan alam yang diciptakan Tuhan di wilayah itu. Betapa tidak, panorama alam yang tersaji sungguh sangat menyejukkan dan menjanjikan kedamaian dan ketenangan.

Lihatlah Danau Poso di Tentena yang merupakan danau terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera Utara. Lihatlah gugusan megalitikum peninggalan zaman batu yang terhampar luas di savanna Napu, Lore Utara dan disebut sebagai megalit tertua dan terluas di Indonesia.

Lihat pula Telaga Tambing yang tak hanya membuat selalu rindu dengan kicau burung endemiknya tetapi juga anggrek hutannya. Bahkan untuk yang terakhir ini, pesona Kabupaten Poso menjelma di telaga yang luasnya tidak lebih dari 6 hektar itu.

Poso hanyalah sebuah istilah atau penamaan adminsitratif bagi sebuah territorial, karena seharusnya Poso adalah kemajemukan, keindahan, ketenangan dan kedamaian seperti yang terpapar di Telaga Tambing yang otoritasnya dipegang oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL).

Maka tidak mengherankan jika Poso yang “diributkan” tidak mengurangi hasrat pelancong untuk menikmati kemajemukan, keindahan, ketenangan, dan keindahan di telaga tersebut. Pesona Poso menjelma di Telaga Tambing.

Bahkan dalam dua tahun terakhir ketika operasi keamanan terus digulirkan di Poso, justeru jumlah kunjungan wisatawan ke telaga ini naik hingga tiga kali lipat. Bukan hanya pelancong lokal yang dengan kendaraan ojek saja sudah bisa sampai di tempat ini, pelancong mancanegara bahkan lebih tak terkira lagi.

Keunikan dan lebih-lebih lagi keasrian telaga ini menjadi salah satu alasannya. Ekosistem dan habitatnya begitu terjaga. Hutan-hutan hujan tropis yang khas di sekeliling telaga ini sulit ditemukan di tempat lainnya. Maka selalu saja ada bule yang berani memberi tip relatif mahal jika suasana itu bisa dipertahankan hingga ia mengulangi kedatangannya ke telaga tersebut kemudian hari.

“Di telaga inilah Poso selalu dirindukan,” aku Jeane, wisatawan asal Swiss yang pernah berkunjung ke tempat ini. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Secercah Optimisme dari Mantan Tapol

Asman Yadjodolo, 72 tahun, alamat Panau, Palu Utara, Sulawesi Tengah, dipenjara tanpa peradilan 1966 dan dibebaskan 1979, dipekerjapaksakan selama dipenjara. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

BABAK kesuraman hidup itu dimulai ketika pimpinan negara menumpas gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI) paska tragedi terbunuhnya sejumlah jenderal TNI pada September 1965. Seluruh warga di seantero nusantara yang dicurigai menjadi antek komunis ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Ratusan ribu warga yang tersebar dari Aceh hingga Papua disapu bersih.

Di Sulawesi Tengah, gerakan penumpasan itu pun tak luput. Ribuan warga dipaksa menghuni penjara-penjara sempit tanpa proses peradilan. Mereka yang tidak kebagian tempat di penjara militer, dipenjarakan di rumah-rumah dan barak-barak dengan atribut Tahanan Politik (Tapol).

Kerja paksa menjadi aktivitas rutin para Tapol itu selama dalam tahanan yang rata-rata dibebaskan bersyarat setelah 15 tahun kemudian atau pada 1980. Infrastruktur berupa jalan, jembatan dan bangunan yang hingga kini masih berdiri kokoh menjadi saksi bisu tetesan keringat dan darah para Tapol itu.

Derita tidak selesai sampai pada pemenjaaran dan kerja paksa itu. Keluarga para Tapol pun mendapat sanksi sosial dari lingkungannya. Stigma sebagai antek PKI begitu kuat disandangkan kepada keluarganya yang berujung pada perlakuan yang diskriminatif.

Data yang dikeluarkan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulawesi Tengah menyebutkan, ribuan warga Sulawesi Tengah menjadi korban. Mereka dipisahkan dengan keluarganya, dipenjara dan lalu dipekerjakan secara paksa untuk membangun berbagai infrastruktur.

Efek traumatis dari kejadian itu masih terasa hingga saat ini. Saksi hidup atas pelanggaran HAM itu masih dapat dijumpai di hampir semua wilayah di Sulawesi Tengah. Ribuan korban itu merasakannya, tak terhitung pula efek yang terasa bagi keluarganya. Banyak pihak yang tersentak dengan kejadian pilu itu. Tak sedikit pula pihak yang berusaha “Menolak Lupa” atas kejadian traumatis itu.

Pemerintah Kota Palu adalah satu-satunya pemerintahan daerah di Indonesia yang secara terbuka menyatakan permintaan maafnya atas kejadian itu dan mengakuinya sebagai pelanggaran HAM.  Lebih dari itu, Pemerintah Kota Palu bahkan telah membuat sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk me-recovery penderitaan yang dialami oleh para korban dalam bentuk program sosial dan pemberdayaan.

Dibalik derita yang dialami, ada secercah optimisme keceriaan menjalani sisa-sisa hidup para bekas Tapol dari kata maaf yang terlontar dari pemerintah daerah itu. “Cukup sudah, jangan sampai ada lagi diskriminasi pada generasi sepeninggal kami,” pinta Asman Yojodolo, salah seorang bekas Tapol yang terpenjara dan terpekerjapaksa selama 15 tahun. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Melepas Getirnya Hidup di Rumah Jagal Sapi

Tali bekas pengikat sapi dibersihkan untuk diserahkan kembali kepada pemilik sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/7). bmzIMAGES/Basri Marzuki/15

PUKUL 02.00 Wita, Aco – demikian ia disapa, sudah siap dengan pisaunya yang diselipkan di pinggang. Kacak pinggangnya tak kalah dengan jagal sapi lainnya di Rumah Potong Hewan (RPH) Tavanjuka, Palu, Sulawesi Tengah yang usianya rata-rata di atas 40-an tahun.

Aco kini usianya memasuki 10 tahun, duduk di bangku kelas IV SDN Tavanjuka. Meski ia masih sangat belia untuk berurusan dengan merahnya darah sapi atau bertarung dengan kencangnya tendangan sapi yang akan disembelih, namun pekerjaan itu harus dilakoninya.

Ayahnya yang tukang kayu lumpuh sejak dua tahun terakhir akibat stroke. Ibunya tidak punya keterampilan yang bisa dibanggakan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah. Sementara itu, empat kakak kandungnya harus berjuang pula mempertahankan hidup. Tak hanya itu, empat adiknya yang lain pun harus bertaruh agar tetap bisa mendapatkan makanan setiap harinya.

Bersama pekerja lainnya, Aco menarik tali yang menjuntai di leher sapi yang akan disembelih. Tatkala sapi itu rebah, ia buru-buru mengikat kaki sapi tersebut sekencang mungkin lalu melepasnya kembali ketika sapi itu tak bergerak lagi, pertanda sudah mati.

Kaki-kaki Aco kokoh mencengkeram lantai semen yang licin dipenuhi dengan kotoran sapi bercampur darah segar. Jemarinya lincah memainkan pisau tajamnya menguliti sapi tersebut. Hingga semuanya tuntas, hingga seluruh daging-daging sapi itu dikumpulkan buat juragan sapi, maka berikutnya giliran Aco bekerja sendiri.

Kulit sapi yang beratnya mencapai 30 kilogram ditariknya ke tempat yang lebih lapang. Pisaunya yang tajam dihunuskan, lalu Ia memulai memisahkan sisa-sisa daging yang melekat di kulit sapi tersebut. Aco menyisir semua daging yang tersisa tersebut. Dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga bersih. Hasilnya bisa mencapai satu kilogram, dan itu menjadi miliknya.

Satu kilogram sisa-sisa daging dari kulit sapi tersebut disimpannya dalam kantong kresek hingga pedagang siomay datang membelinya. Harganya sebesar Rp30.000 per kilogram.

Saban malam, demikianlah Aco melakoni pekerjaan itu. Duit Rp30.000 yang dikantonginya tidak dihabiskan sendiri. Sebagian untuk keperluan sekolahnya dan sebagian lagi untuk membantu keuangan keluarganya.

Walau bekerja saat dinihari dan harus sekolah pada pagi harinya, Aco mengaku tidak terganggu. Ia merasa sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Bagaimana tidak, sedari dua tahun lalu ia sudah ditempa menjalani hidup seperti itu.

“Dari mana kami dapat uang untuk sekolah, bagaimana kami bisa beli baju lebaran kalau tidak bekerja begitu,” ucap Aco lirih.***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Potapahi, Cuci Kampung Ala Suku Kulawi

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SERENTETAN musibah menimpa wilayah adat Kulawi dalam beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari gagal panen yang menyebabkan kurang tersedianya pangan, banjir bandang yang merenggut 3 korban jiwa, dan terakhir di bulan Agustus 2012 terjadi gempa bumi yang menewaskan 3 orang warga.

Musibah demi musibah itu dipercaya oleh warga sebagai kotornya kampung dan bercampurnya kebaikan dan keburukan yang menyebabkan kemurkaan Tuhan. Pencucian kampung atau oleh warga setempat disebut “potapahi” adalah jalan keluar untuk membersihkannya dengan harapan musibah itu tidak terjadi lagi.

Sejumlah pemangku adat menyiapkan ritual cuci kampung itu. Seekor kerbau sebagai persembahan dalam prosesinya adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi agar ritual adat itu bisa terlaksana dengan baik. Seluruh warga yang berada dalam wilayah adat Kulawi ikut berpartisipasi agar syarat-syarat itu bisa diadakan.

Pembacaan mantra dilakukan diikuti nyanyian-nyanyian dan tarian rakyat mengiringi kerbau yang ditarik ke pinggir sungai untuk disembelih. Darah kerbau dialirkan ke sungai sebagai simbol pencucian dan pembuangan kotoran dari kampung. Daging kerbau tidak dibawa kemana-mana melainkan di masak di tempat secara bergotong royong untuk disajikan kembali kepada seluruh warga.

Kulawi berada di wilayah adminstratif Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sejak lebih dari 100 tahun lalu, ritual potapahi ini baru digelar kembali. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Mpokeso & Mposuno

Dade ndate (nyanyian rakyat) terus dilantunkan oleh tetua adat mengiringi prosesi penyembelihan kerbau. (Foto: bmzIMAGEs/Basri Marzuki)

SETELAH 40 tahun, baru kali ini prosesi adat Mpokeso dan Mposuno kembali digelar di Banua Oge, yaitu rumah adat besar kediaman bangsawan. Mpokeso dan Mposuno adalah prosesi khitanan yang dilakukan kepada anak-anak bangsawan pada etnis Kaili, suku asli yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah. Mpokeso ditujukan kepada anak-anak perempuan dan Mposuna buat anak lelaki.

Prosesi itu menandai titik pertumbuhan seorang anak menjadi remaja. Kebahagiaan memasuki fase hidup baru itu dimaknai dengan penyembelihan kerbau yang kemudian dibagikan kepada warga sekitar dengan harapan, kemakmuran, kesehatan dan kebaikan akan menyertai pertumbuhan si anak yang akan dikhitan.

Prosesi diawali dengan pemasangan umbul-umbul di depan Banua Oge untuk memberitahukan kepada warga bahwa akan ada hajatan adat. Dilanjutkan dengan pemingitan yang berlangsung sehari penuh. Anak-anak yang akan dikhitan tak boleh keluar rumah. Pemingitan dilanjutkan dengan pemberian daun pacar seagai simbolisasi kesiapan dan kematangan dalam menjalani hidup berikutnya.

Tak sampai disitu, anak-anak yang akan dikhitan tersebut diusung mengelilingi persembahan kerbau yang nantinya daging kerbau itu diarak keliling kampung seraya membagi-bagikan kepada warga. Prosesi ini melambangkan sifat kedermawanan terhadap warga lainnya yang kurang mampu.

Ritual itu dilanjutkan dengan mandi kembang sebelum acara khtan dilakukan. Satu persatu anak tersebut bergiliran memasuki kelambu untuk dikhitan. Akhirnya, pembacaan doa keselamatan, semoga hari depan yang penuh tantangan akan dapat dilalui dengan baik dan mendapat berkah. Prosesi ini berlangsung tiga hari dan tiga malam penuh.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Balia, Ritual Penyembuhan Adat yang Kian Tergeser

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan mantra penyembuhan dimulai. (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

WAKTU masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan 4 orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. 7 wanita dan 2 pria menari secara beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk. Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa setempat, Kaili.

Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit. Warga, etnis Kaili yang mendiami lembah Palu, Sulawesi Tengah, baik secara individu maupun berkelompok dapat menggagas upacara adat ini, terlebih jika upaya medis telah dilakukan namun tak kunjung sembuh juga. Prosesinya bisa berlangsung hingga 7 hari dan 7 malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.

Di masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat. Prosesinya dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara, mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa terdiri dari ayam, kambing, atau kerbau, tergantung berada di kasta mana yang punya hajatan. Tentu saja seluruhnya ditanggung oleh yang punya hajatan ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual.

Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantera-manteranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan. Tari balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.

Melelahkan, begitulah adanya. Prosesi adat yang berlangsung seminggu non stop itu sungguh menguras tenaga dan waktu serta materi. Tapi efektifkah dalam mencapai tujuannya, yakni penyembuhan? Dari sejak hadirnya upacara Balia ini oleh leluhur, warga setempat sangat meyakini efektifitasnya. Meski tidak sedikit dari mereka yang sudah terkooptasi paham modernism menganggapnya tak lebih dari situs budaya yang perlu dijaga agar tidak punah dari keragaman bangsa. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Ritual Pompaura di Masyarakat Kaili

Warga menari pada upacara adat Pomparua di Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (16/10). Upacara adat itu dilaksanakan untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, menolak bala dan sial atas keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat buruk yang disebabkan oleh manusia sendiri. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

SUARA gimba (gendang) bertalu-talu mengiringi para penari. Sesekali tarian itu tidak karuan lantaran roh arwah merasukinya (trance). Sangguni (beras kuning) harus segera dihamburkan agar irama tari yang dimainkan perempuan dan laki-laki itu tetap berada dalam koridor kegembiraan menyambut pembersihan diri.

Sore itu, upacara adat Pomparua digelar di Kelurahan Lasoani, Palu, Sulawesi Tengah. Upacara itu sudah turun temurun dilakukan oleh suku Kaili – etnis mayoritas yang berdiam dilembah Palu. Pompaura berarti mengembalikan, menyingkirkan atau membersihkan.

Telah menjadi keyakinan warga setempat, segala macam bencana alam, wabah penyakit dan hal buruk lainnya disebabkan oleh ulah manusia dan harus dibersihkan agar tidak menimbulkan kerusakan. Keserakahan, kesombongan, ketidakpedulian pada alam dan lingkungan serta berbagai sifat-sifat buruk lainnya dibersihkan dengan ritual Pompaura.

Sejatinya, Pompaura digelar dua kali dalam setahun yakni pada saat perpindahan musim dari Timur ke Barat dan dari Barat ke Timur. Tergambar jelas semangat kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dalam prosesi ini. Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara adat ini ditanggung bersama. Setiap (rumah tangga) datang dengan ‘barang bawaan’ atau Taki berbentuk nasi yang direbus daun pisang, dan bahan makanan lainnya. Taki juga bisa dalam bentuk bahan makanan seperti beras, gula pasir dan kopi atau teh, singkong, pisang dan atau yang lainnya.

Bagi warga yang punya kemampuan lebih, membawa ayam dan bahkan kambing. Tidak ada kewajiban untuk membawa barang bawaan ini, semua tergantung kerelaan atau kemampuan masing-masing. Sebagian dari barang bawaan ini kemudian dijadikan sesaji. Sisanya disantap bersama usai prosesi adat.

Seminggu sebelumnya prosesi Pompaura dilaksanakan prosesi menau atau meminta izin kepada leluhur. Prosesi ini belum melibatkan orang banyak, biasanya hanya dilaksanakan oleh tolanggara, yakni dengan mempersembahkan sesaji untuk para leluhur.

Melalui ritual adat ini seluruh warga suatu kampung memohon kepada tuhan yang maha kuasa, agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai macam bencana dan marabahaya. ***

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Kilau Emas Poboya yang “Membutakan”

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

PANAS yang membakar kulit tak menghalangi para penambang emas tradisional di Dusun Vatutempa, Kelurahan Poboya, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah  untuk terus mengayungkan martil atau memahat bebatuan cadas. Bagi para penambang yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi bahkan ada yang datang dari luar pulau itu, emas memilik daya tarik tersendiri yang sulit dihindari ketika silaunya menerpa mata dan nilainya yang menebalkan kantong.

Ribuan warga datang berduyun-duyun mengeruk emas di wilayah tersebut. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pertambangan setempat, kandungan emas yang terdapat wilayah yang sebelumnya sudah dikontrakkan kepada pemodal asing itu bisa mencapai ribuan ton yang terpendam dalam bebatuan di bukit-bukit cadas.

Tak kurang dari sekitar 45 hektar lahan yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat itu kini meranggas akibat penggalian dan pemahatan gunung-gunung batu di dalamnya. Ratusan kilogram cairan kimia tertumpah akibat proses penangkapan emas melalui penggilingan-penggilaingan warga.

Penelitian yang dilakukan oleh individu dan Dinas Kesehatan setempat tiga tahun terakhir menyebutkan, kawasan itu telah tercemari kandungan kimia Sianida dan Mercury yang sudah di ambang batas. Bahkan penelitian terakhir menyebutkan, udang kecil yang ditangkap nelayan di sekitar pantai Teluk Palu yang menjadi pembuangan limbah pengolahan emas itu, kini telah terkontaminasi zat mematikan itu.

Ini juga menjadi peringatan serius bagi warga yang bermukim di sekitarnya, karena suplai air bersih bagi penduduk di ibukota Palu berasal dari kawasan tersebut.

Kini, meski pemerintah daerah setempat menyadari dampak lingkungan dari pertambangan emas rakyat itu, namun aktivitas pertambangan masih tetap berjalan. Kilau emas telah membutakan mata-mata para pengambil kebijakan akan kelansungan hidup anak cucu mereka nantinya. ***

Naskah dan Foto: Basri marzuki

La Haku: Hidupku Ada di Kepalamu”

(Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

UNTUK pria seumurnya, ia terbilang masih cukup fit. Tuas kakinya masih kokoh menopang berat badannya berdiri  hingga berjam-jam. Jari jemarinya masih lentik untuk menekan kodok pemangkas rambut dan gunting serta sisir. Ia bahkan bergerak kesana kemari, mengeker dan mengukur keseimbangan dan keharmonisan rambut pelanggannya.

Dialah La Haku, pria kelahiran 1936 ini masih kuat menggeluti profesinya sebagai tukang gunting rambut tradisional hingga sekarang. Ia tak mengeluh dengan gelarnya sebagai tukang gunting rambut yang dilakoninya sejak 36 tahun lalu. Justeru ada kebanggaan yang tersirat di wajah keriputnya karena lantaran itu ia bisa menghidupi keluarganya.

Jangan ditanya soal pengalaman ataupun suka duka menggunting rambut. Semua cerita sedih, gembira dan bahkan cerita menggelikan sudah dilaluinya, tak terkecuali ketika menggunting rambut Bandjela Paliudju muda yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah selama dua periode.

Karakter pribadinya yang luwes menjadikannya dikenal dan disukai banyak orang. Tak heran jika pelanggannya rela menunda memotong rambutnya jika La Haku kebetulan tidak sedang bekerja. Di kalangan sesama tukang gunting rambutpun sosoknya cukup dihormati. Tak hanya ukuran senioritas, tutur katanya yang bijak membuatnya disegani.

36 tahun menggunting rambut di bawah tenda plastik bukanlah waktu yang singkat. Pasar Bambaru yang kini lebih populer disebut Pasar Tua menjadi saksi bisu ketika pertama kali ia memulai profesi itu. Ia hengkang dari pasar yang mulai ditinggalkan itu sejalan dengan berdirinya Pasar Manonda yang lebih modern. Namun meski lebih modern, tempatnya tetap di tenda.

Entah sampai kapan La Haku terus menggunting rambut. Bisa jadi hingga tidak ada lagi kepala yang ingin digunting rambutnya atau mungkin ketika tidak atau lagi rambut yang bisa tumbuh di kepala. Bagi La Haku, kepala sangatlah berarti, karena dari kepala itulah ia hidup.

Naskah dan foto: Basri Marzuki

Item added to cart.
0 items - $0