A medical officer prepares a logistical isolation room for patients under surveillance (PDP) at Undata Hospital, Palu, Central Sulawesi, Indonesia on March 15, 2020. In accordance with the Ministry of Health protocol, the hospital isolated two female patients after being referred from another hospital because experience symptoms of COVID-19 after traveling outside the area. From 30 December 2019 to 15 March 2020, there were 1,293 people examined from 28 provinces in Indonesia with 1,167 negative results, 117 COVID-19 positive confirmation cases and 9 samples were still being examined. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
STORY
Setahun Bencana Sulawesi Tengah, BERGERAK BANGKIT
SEORANG bapak menengadahkan kedua tangannya di depan sebuah batu nisan tak bernama di Kompleks Pekuburan Poboya Palu, Sulawesi Tengah – tempat ribuan korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi dikubur massal. Mulutnya komat kamit memanjatkan doa bagi sang buang hati yang menjadi salah satu korban.
Di tempat lain, seorang ibu menatap kosong ke hamparan puing-puing rumah yang telah rata dengan tanah di bekas tempat tinggalnya di Kelurahan Balaroa. Memorial park seluas 136 hektare itu selalu membawa ingatan ibu itu tentang rumah dan keluarganya yang tertelan lumpur, hilang tak berbekas.
Dan di Pantai Talise, seorang pria duduk di atas bekas tanggul penahan ombak sembari mendekap kedua lututnya. Pandangannya lurus ke teluk yang membelah kota. Dia mengenang seorang perempuan pujaannya yang terenggut gelombang tsunami….
Namun cerita duka, sedih, dan keputusasaan itu sudah berlalu, berganti dengan gerak aktivitas untuk terus melanjutkan hidup karena hidup memang harus tetap berlanjut. Para korban bencana 28 September 2018 itu mematrikan diri untuk bangkit!!!
Setahun setelah bencana dahsyat itu, anak-anak kembali bergandengan tangan menuju sekolah-sekolah, pedagang meramaikan pasar, pegawai rutin ke tempat kerja, sopir mengangkut penumpang, SPBU mengisi BBM kendaraan, rumah sakit melayani pasien, bank menerima setoran simpanan, ekonomi berputar kembali, trauma akan bencana perlahan pulih.
Terdapat sekitar 53.172 Kepala Keluarga yang terdampak bencana pada Jumat, 28 September 2018 itu. Sebagian di antaranya telah menghuni hunian-hunian sementara (Huntara), baik yang dibangun oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR, BUMN, maupun oleh lembaga kemanusiaan non pemerintah.
Dalam rentang waktu masa tanggap darurat, sejumlah infrastruktur yang rusak telah tertangani. Listrik mengalir kembali ke pemukiman-pemukiman, tak terkecuali di Huntara-huntara. Sistem komunikasi yang sebelumnya lumpuh total kini berfungsi dengan normal kembali.
Kondisi normal seperti sebelumnya memang belum sepenuhnya terwujud, namun masa rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang berjalan diharapkan dapat mengejawantahkan kehadiran negara bagi para korban yang juga rakyat Indonesia. ***
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Peternakan Leluhur di Lembah Lore Poso
KABUT masih berarak di langit. Pagi yang dingin masih menyelimuti Lembah Lore. Tetapi Suwardi Tudai, ketua penggembala di peternakan leluhur di desa Winowanga, Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu sudah beranjak dari rumahnya. Ia akan memastikan kerbau dan sapi-sapi siap dilepas ke padang savana yang luasnya seujung mata memandang.
Pharmacokinetics: The extent of percutaneous absorption of topical corticosteroids is determined by many factors including the vehicle, the integrity of the epidermal barrier, and the use of occlusive dressings. Cefprozil is in a class of medications called cephalosporin antibiotics. Do not use a second inhaled bronchodilator that contains formoterol, arformoterol, indacaterol, olodaterol, salmeterol, or formoterol www.farmaciasinreceta.net. Symptoms include: • Very slow heart rate.
Begitulah setiap harinya, ratusan kerbau dan sapi diternakkan di padang 2.500 hektare itu. Peternakan yang sudah ada sejak tahun 1818 itu dikelola secara turun temurun oleh keluarga dan menjadi warisan leluhur yang terus dipertahankan dari generasi ke generasi.
Lebih dari dua abad berlalu, peternakan yang pengelolaannya juga dicampuri oleh lembaga adat setempat masih bertahan hingga kini. Kehadiran lembaga adat di peternakan leluhur itu bukan tanpa alasan, karena distribusi seluruh hasil ternak hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisi yang melanggengkan adat.
“Kerbau dan sapi di peternakan ini juga dijual, tapi tidak untuk umum, jadi hanya untuk kegiatan adat seperti pesta pernikahan, selamatan, atau kegiatan adat lainnya. Hasilnya penjualannya digunakan kembali untuk membiayai peternakan ini,” aku SN Ama, ketua adat setempat.
Meski langgeng hingga kini, kearifan mengelola peternakan leluhur itu bukan tanpa masalah. Problem anakan atau bibit kerbau dan sapi menjadi ganjalan utama. Angka fertilitas hewan ternak di peternakan itu terbilang sangat rendah. Bagaimana tidak, rasio ternak pejantan terhadap terhadap betina hanya 1:12, padahal idealnya 1:5.
Pemerintah Desa Winowanga berusaha turun tangan, namun keterbatasan dalam banyak hal tidak memberi solusi siginifikan bagi kerbelanjutan peternakan leluhur itu.
“Sudah beberapa kali kami memohon kepada dinas terkait, namun hingga kini belum ada realisasinya,” ungkap Alpius Rangka, kepala Desa Winowanga.
Dan kini, satu-satunya peternakan leluhur bernilai historis yang selalu mengundang decak kagum setiap pengunjung itu sedang “megap-megap” menjalani hari-harinya. Kerbau dan sapi-sapi beserta penggembala dan tetua adatnya sedang “tertatih-tatih” melanggengkan cerita peradaban di daerah itu. ***
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Mosintuwu Festival in Poso, Central Sulawesi
INSTITUT Mosintuwu menggelar Festival Mosintuwu pada 31 Oktober hingga 2 November 2019 di Kota Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Festival yang berbasis komunitas dan menampilkan keanekaragaman alam, budaya dan tradisi itu berhasil menguatkan identitas Poso.
National Library of Medicine: Drug Information Portal – Amiodarone • Amiodarone (FDA MedWatch see: Information for Healthcare Professionals: Amiodarone (marketed as Cordarone) [ARCHIVED] ) • (2005 Drug Safety Information, archived) • “Amiodarone”. Talk • This medicine may affect certain lab tests. A newer anti-Parkinson MAO-B inhibitor, rasagiline, metabolizes into 1( R)-aminoindan, which has no amphetamine-like characteristics www.apotek24.org. Clinical studies have been performed to determine the serological responses after immunization.
“Festival ini dengan sangat baik menggambarkan napas sebuah festival yang dikelola oleh masyarakat dan untuk masyarakat,” kata Joshua Marunduh, kontributor National Geographic Indonesia.
Tidak ada acara seremoni dengan pidato yang panjang, Festival Mosintuwu dibuka dengan karnaval hasil bumi dari 17 desa/kelurahan dari Kabupaten Poso. Sepanjang jalan, kelompok perempuan dengan pakaian petani dan khas suku masing-masing membawa hasil bumi yang dihias khusus sambil bernyanyi lagu “desaku” atau “orang tani orang merdeka”.
Acara kuliner dari tradisi suku-suku di Poso memperkaya makna festival Mosintuwu sebagai festival tradisi Poso. Pada hari pertama, ada acara Moapu( memasak) diikuti oleh 8 desa yang mempersembahkan beragam masakan dengan bahan organik yang dikelola dengan tradisi lokal.
Malam harinya, pengunjung festival diajak untuk Molimbu atau makan bersama makanan yang dibawa oleh warga. Desa-desa dari Lore Barat memberikan makanan di atas bingka besar untuk dimakan bersama, yang mereka sebut Modulu-dulu. Sementara desa-desa lainnya membungkus makanan dari daun. Semua pengunjung makan menggunakan pingku, wadah makan dari daun silar, dan suke, alat minum dari bambu.
“Kuliner persembahan dari empat suku di acara Nyami To Poso, atau Selera orang Poso, menjadi agenda wajib di Festival Mosintuwu” cerita Martince, koordinator pengorganisasian Institut Mosintuwu.
Menurut Martince, acara demo masak dari suku Mori, Pamona, Napu, dan Bada di hari kedua festival ini menjadi ruang bagi warga untuk bangga dengan kuliner desa dan sukunya yang bersumber dari alam desa.
Demikian pula, gelaran hasil bumi yang dipajang di lokasi pasar desa Festival Mosintuwu, serta karya-karya kreatif kerajinan yang dibuat oleh berbagai komunitas di stand pameran Festival Mosintuwu. Tidak ketinggalan, pojok etnobotani dan iktiologi Danau Poso yang banyak dikunjungi pelajar, menampilkan 94 jenis botani di Kabupaten Poso dan ikan-ikan endemik di 5 aquarium .
Berbagai workshop yang diadakan di Festival Mosintuwu, mengajak peserta untuk menguatkan konsep kemakmuran yang ada di desa dengan menyadari perkembangan dunia.
Workshop sosial media yang dibawakan oleh Gusdurian, misalnya, mengajak peserta untuk menggunakan sosial media bukan untuk menyebarkan kebencian tapi menyebarkan kabar baik dari Poso. Workshop fotografi desa yang difasilitasi oleh Rara Sekar dan Ben Laksana, juga mengajak anak muda untuk melihat dengan detail desa sebagai subyek foto yang menarik untuk diceritakan.
“Saya ikut workshop musik tradisi, karena penasaran dengan bagaimana musik tradisi bisa menjadi lebih digunakan oleh kami yang muda tanpa takut dibilang ketinggalan jaman” ujar Asri, seorang peserta workshop musik tradisi yang difasilitasi oleh Nardi Banggai dan Pedati.
Workshop lainnya yang tidak kalah seru dan diminati oleh peserta dan pengunjung adalah workshop inovasi untuk perempuan yang difasilitasi oleh Kopernik. Workshop ini memperkenalkan konsep baru penggunaan pembalut yang aman dan ramah lingkungan , bahkan dapat dibuat sendiri.
Gina dari Kopernik mengatakan “Inovasi ini adalah cara Kopernik untuk mengurangi penggunaan sampah plastik berdasarkan kebutuhan perempuan”.
Penjelasan Gina langsung disambut dengan antusias oleh para perempuan untuk bekerjasama dengan Institut Mosintuwu punya proyek khusus membuat pembalut aman yang dapat dipakai ulang. Workshop ini melengkapi penjelasan Kopernik dalam pemutaran film “Pulau Plastik” sebuah kampanye tentang menolak penggunaan sampah plastik.
Beragam kegiatan lainnya, seperti bertemu pengrajin, custompainting, geowisata Danau Poso, dan seminar Ekspedisi Poso menjadi penguatan bersama tentang keanekaragaman hayati Poso yang harus dijaga.
Hal ini diperkuat kembali melalui pagelaran musik tradisi yang memperkenalkan cerita tentang desa dan lingkungan melalui folksong, teater rakyat, pagelaran geso-geso oleh anak-anak. Apalagi pada malam terakhir penyelenggaraan festival, konser musik Festival Mosintuwu diisi oleh musisi dan pegiat sosial seperti Rara Sekar, MAN, Pedati, Culture Project, Guritan Kabudul, Temperament Navigasi .
“Saya mengagumi solidaritas yang terbangun bukan hanya oleh warga desa tapi juga oleh para seniman, dan musisi yang hadir di Festival Mosintuwu,” kata Rara Sekar, musisi dan peneliti sosiologi antropologi ini memberikan harapan tentang desa yang bisa terus dijaga kearifan lokal dan alamnya.
Ini adalah tahun ke empat penyelenggaraan Festival Mosintuwu oleh Institut Mosintuwu. Lian Gogali, pendiri dan inisiator Festival Mosintuwu menyebutkan bahwa festival diselenggarakan untuk membuka ruang bertemu, belajar serta merayakan kekayaan budaya, alam dan keanekaragaman hayati di desa Poso.
“Agar kebijakan pembangunan di Poso bisa berakar pada pengelolaan keanekaragaman hayati dan alam Poso yang bukan hanya berpihak pada rakyat, tapi juga bersolidaritas pada alam. Selain bahwa ada ruang agar desa-desa mempercayai dirinya, agar tidak digerus oleh produksi instan dari pabrik-pabrik yang mengeksploitasi alam” pungkas Lian. (bmz)
Kembalinya KM Sabuk Nusantara 39 ke Laut
TEPAT pukul 18.54 Wita, KM Sabuk Nusantara 39 yang terhempas ke darat oleh gelombang tsunami 28 Spetember 2018 lalu di Pelabuhan Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, akhirnya kembali ke laut.
Kapal Tol Laut milik PT. Pelni yang berbobot mati 500 gross ton itu berhasil diluncurkan kembali ke laut setelah didorong oleh sebuah alat berat excavator dari darat dan sementara itu juga ditarik oleh sebuah tug boat dari laut.
By blocking muscarinic cholinergic receptors in the CNS, benztropine reduces the excessive cholinergic activity present in parkinsonism and related states. Azactam is used to treat severe infections of the blood, urinary tract, lungs, skin, stomach, or female reproductive organs. Compared to never being exposed to pioglitazone, a duration of pioglitazone therapy longer than 12 months was associated with a 40% increase in risk (HR 1 site. Concomitant or sequential antibiotic use was defined as exposure to another antibiotic within 24 hours (before or after) of ceftaroline administration, based on the electronic medication administration record.
“Waowwww…” serentak suara itu bergema ketika kapal tersebut meluncur mulus dari “air bag” atau bantalan karet berisi udara yang telah dipasang di bawah kapal tersebut sebelumnya. Prosesi peluncuran itu berlagsung hanya dalam hitungan detik hingga kapal yang telah “bermukim” selama lebih dari empat bulan itu mengapung kembali di laut.
Sesungguhnya, kapal itu telah dipersiapkan peluncurannya sejak 21 Januari 2019 lalu, namun karena masalah administrasi perizinan dari Kementerian Perhubungan selaku pemegang otoritas operasional kapal itu belum terbit, sehingga urung dilakukan.
“Proses awal telah dimulai dengan memasukkan ganjalan dari batang kelapa. Batang kelapa ini berfungsi mengangkat Badan kapal setinggi 50 cm sebelum memasukkan air bag. Air bag berfungsi sebagai pengganti rel,” kata kepala teknisi PT Samudera Rezeki Teknindo (Smart), Sarman awal Januari 2019 lalu.
Setelah mengapung di laut, kapal itu tidak langsung berlayar. Menurut teknisi, kapal itu akan dicek kembali kelayakannya untuk berlayar, karena telah lebih empat bulan terdiam di darat.
Sementara itu, aneka reaksi ditunjukkan warga sekitarnya atas kembalinya kapal yang telah menemaninya selama lebih dari empat bulan di kawasan itu.
“Aduh kasiang, sudah tidak adami kapalna,” ujar Mila, seorang warga yang mengaku bermukim tidak jauh dari kapal itu terhempas ke darat.
Lain lagi dengan Daeng yang juga warga setempat. Daeng mengaku menyesal tidak sempat menyaksikan langsung prosesi peluncuran kembali kapal itu ke laut. Padahal menurutnya, banyak kenangan yang ditorehkan sejak kapal itu berlabuh di darat.
“Sejak kapal itu naik ke darat, banyak orang yang datang melihatnya, kampong ini jadi ramai, banyak juga penjual bermunculan, juga parkiran bagi warga setempat. Tapi sekarang sudah pergi mi itu kapal kasiang,” ujar Daeng dengan ekspresi sedih.
Bagi Rustam yang juag warga di sekitar itu, seharusnya kapal itu tidak perlu ditarik ke laut atau dibiarkan di tempat itu saja sebagai penanda atau semacam memorial park bahwa telah terjadi bencana tsunami dahsyat di kawasan itu.
“Tapi itu cuma harapang saya, tapi kalau pemerintah maunya lain, mau diapami,” ujarnya dengan dialek Bugisnya.
Warga tetap bergerombol di kegelapan malam kawasan itu hingga beberapa saat untuk menyaksikan kapal itu yang sedang mengapung tidak jauh dari dermaga Pelabuhan Wani.
“Mauka kurasa menangis, sedihku kurasa kapal itu ditarik,” celetuk Wati di gelapnya malam itu. []
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Feeding Beef Cattle in Waste Disposal Sites
The developmental and health benefits of breastfeeding should be considered along with the mother’s clinical need for CUVPOSA and any potential adverse effects on the breastfed infant from CUVPOSA or from the underlying maternal condition. Tell your doctor if you have concerns about this risk. You and your healthcare provider should consider your CD4 cell count, your viral load, any symptoms you are having, and your preferences when deciding which HIV medications are right for you https://dansk-apotek.com/levitra-original/. Over the past two decades, 67Ga scanning has been used most frequently in patients with Hodgkin’s and non-Hodgkin’s lymphomas to detect residual disease or disease that has relapsed following treatment with chemotherapy or radiotherapy [ 11– 14].
Scavengers are struggling with cattle to get trash at the Kawatuna landfill, Palu, Central Sulawesi, Indonesia, Tuesday, January 29, 2019. Thousands of cattle belonging to local residents are intentionally released into the trash foraging to reduce the cost of feed that reaches 70 percent of the cost of raising cattle. The local government has issued an appeal to the livestock owners to hold their cows, because the action was not healthy. The cows eat rubbish, including organic waste from medical waste which is very dangerous for health and can contaminate humans if they eat meat. But the appeal was ignored by farmers. (Photo by Basri Marzuki/bmzIMAGES)
Memori yang Terserak di Puing Likuifaksi
JUMAT (28 September 2018) petang itu mungkin menjadi “kiamat kecil” bagi warga di Kelurahan Petobo dan Balaroa di Kota Palu dan juga Desa Jono Oge dan Sibalaya Utara Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Indonesia.
Bagaimana tidak, getaran bumi yang menghentak hingga 7,4 Skala Richter menimbulkan kepanikan massal dan kekacauan masif. Tak hanya di empat wilayah itu, namun magnitudonya juga mencemaskan semua orang di seantero Palu, Sigi, Donggala dan wilayah sekitarnya.
Berlari ke tempat terbuka mungkin sudah di luar kepala jika menghadapi situasi seperti itu, atau berlari ke tempat yang lebih tinggi ketika gempa disertai tsunami akan menerjang mungkin juga sudah menjadi prosedur baku sebagaimana pelajaran mitigasi bencana.
Likuifaksi atau pencairan dan pergeseran tanah mungkin pengecualian atas solutif itu. Entah karena langka terjadinya atau memang tidak terbetik di kepala bakal ada bencana yang menggulung permukaan tanah sepeti itu.
Apapun itu, likuifaksi telah menelan mentah-mentah perumahan dan bangunan yang ada di atas Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya Utara seluas lebih dari 600 hektare.
Yang tersisa hanyalah serakan kenangan orang-orang terkasih yang menghembuskan nafas terakhir dalam himpitan reruntuhan rumah dan bangunan serta kubangan lumpur yang memilukan.
Serakan itu akan menjadi “monument park” akan kuasa yang maha.
Tuhan, beri kekuatan atas musibah ini. Terimalah arwah korban dan tempatkanlah di sisiMU. ***
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Merajut Asa di Pulau Kabalutan
PUKUL 05.58 Wita, mentarimembersitkan sinarnya di ufuk timur. Seketika, riuh menyeruak di Pulau Kabalutan yang berada di gugusan Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah.
Pulau yang didiami sekitar 3.000 jiwa itu menyambut datangnya pagi dengan aktivitas harian yang sebagian besarnya di laut. Anak-anak bergegas mandi pagi, terjun ke laut membasahi tubuhnya dan kemudian membilas segayung atau dua gayung dengan air tawar yang sudah mengalir ke rumah-rumah warga dengan debit secukupnya.
Orang-orang tua hilir mudik dengan sampan kecil menyusuri tiang-tiang rumah yang berjejer di tepian. Ibu-ibu sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk suami yang sebentar lagi akan segera melaut memancing ikan.
Seperti kebanyakan anak-anak di wilayah lainnya, penduduk yang mayoritas beretnis suku Bajo ini juga melewati paginya dengan riang meniti jembatan-jembatan kayu yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya, hingga ke sekolah.
Separuh ruang sekolah berada di atas daratan, separuh lagi tiangnya tertancap di bibir pantai. Suasana rumah panggung sangat terasa di setiap sekolah itu.
Anak-anak yang menamatkan Sekolah Dasar di pulau itu tidak harus “merantau” ke luar pulau untuk bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Di pulau yang terdiri dari tiga dusun itu, terdapat dua buah SD, sebuah SMP dan sebuah lagi SMA.
Kecuali pendidikan tinggi, tidak ada jalan lain bagi penduduk setempat selain harus ke luar pulau, ke ibukota kabupaten di Ampana, atau ke ibukota provinsi di Palu. Sedikitnya, telah tiga orang penduduk setempat yang telah menyandang gelar sarjana strata satu.
Jumlah sekolah yang relatif tersedia itu, sebanding dengan angka fertilitas penduduk di pulau tersebut yang terbilang cukup tinggi.
Keterbatasan ruang bermukim menjadikan setiap rumah kerap dihuni tiga hingga empat Kepala Keluarga (KK). Rata-rata KK memiliki keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan tiga sampai empat orang anak.
Dari sisi infrastruktur, ketersediaan sarana kesehatan juga tersedia dengan adanya Puskesmas Pembantu dengan tenaga bidan dan mantri kesehatan. Air bersih, melalui bantuan APBN kini telah tersambung jaringan pipa air bersih bawah laut walau dengan volume yang relatif tidak banyak.
Tidak ada kegelisahan nyata di antara para pemukim yang berlatar suku Bajo di pulau itu untuk meninggalkan kesehariannya yang terbalut dengan laut. Sejak nenek moyangnya mematrikan diri dengan kehidupan laut, asa terus dibenamkan dalam dirinya untuk kehidupan yang terus membaik.
Naskah dan foto: Basri Marzuki
Mengukuhkan Seni dan Budaya dalam Lalove
TIDAK ada catatan sejarah tentang kapan alat musik tiup bernama Lalove ini mulai digunakan oleh masyarakat to Kaili. Kaili adalah etnis mayoritas yang mendiami sebagian besar lembah Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Yang pasti, pada setiap ritual adat terutama upacara penyembuhan yang disebut “Balia”, alat musik tiup ini selalu hadir bersama gimba (gendang) yang mengiringi upacara tersebut.
Di zamannya, lalove begitu sakral. Untuk membuatnya harus melalui prosedur adat yang sarat dengan unsur magic. Dimulai dengan pemilihan bambu, melepaskan ranting-rantingnya, hingga memotong ruas dan menentukan titik-titik lubangnya dilakukan dengan mantra.
Pemanteraan itu sesuai dengan maksudnya yakni ketika ditiup atau dibunyikan akan memiliki keuatan supra natural untuk memaggil roh. Dalam ritual penyembuhan Balia, peran lalove sangat penting karena menentukan seperti apa roh itu bisa masuk ke tubuh seeorang yang sedang dalam proses penyembuhan. Karena itu pula, peniup lalove adalah mereka yang memiliki keahlian dan kekuatan natural itu pula.
Namun itu dulu, kini Lalove tidak lagi sekadar mengiringi ritual penyembuhan. Beberapa ritual atau bahkan drama seni, tari kreasi dan juga musik kontemporer pun memanfaatkan alat musik khas yang terbuat dari buluh (bambu) pilihan ini.
Perjalanan waktu mengubah unsur magic yang melekat dalam lalove. Ia bisa diproduksi secara massal dengan mengesampingkan unsur magic tersebut. Secara ekonomis, Lalove bukanlah unit bisnis yang menggiurkan, pertama karena pasarnya sangat terbatas di kalangan tertentu, kedua tidak banyak orang yang mau menggelutinya. Itu pula alasan mengapa mendapatkan Lalove terasa begitu sulit.
Namun di pelosok Kabupaten Sigi, tepatnya di Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, masih ada yang peduli dengan pelestarian alat musik tiup khas ini. “Bukan unsur ekonomisnya, tapi lebih kepada bagaimana agar alat musik ini tetap ada dalam khasanah seni dan budaya kita, to Kaili,” ujar Yayan Kololio, perajin Lalove itu.
Menurutnya, tidak cukup sulit untuk membuat Lalove. Tiga jam baginya cukup untuk bisa menyelesaikan satu unit Lalove. “Tapi itu tadi, unsur magicnya kita kesampingkan. Kecuali kalau membuat Lalove khusus, butuh waktu yang lebih panjang,” sebut Yayan.
Selama tiga tahun menggeluti kerajinan Lalove itu, cukup memadai Lalove yang bisa dihasilkan. Umumnya Lalove itu dibuatkan berdasarkan pesanan, seperti anak-anak sekolah yang dalam kurikulumnya mengajarkan tentang alat music tradisional. Selain itu beberapa sanggar seni kerap kali mengorder untuk keperluan sanggarnya.
Suatu kebanggaan menurutnya karena meski jauh di pelosok, namun suara Lalove itu banyak pula diminati oleh orang di luar etnis to Kaili. Lalove yang dibuatnya bahkan sudah menjamah beberapa seniman di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Makassar, Semarang dan Jawa sebagiannya.
Pengetahuan membuat Lalove diakuinya didapatkan secara otodidak. Ia mengaku tidak memiliki silsilah pembuat atau pengguna Lalove. “Ini spontan saja, saya mendengar bunyi Lalove dalam sebuah upacara Balia dan saat itu saya tergerak untuk mencoba membuatnya. Itulah awalnya,” aku Yayan.
Ia berharap ke depan akan banyak anak muda yang menekuni pembuatan Lalove tersebut terkait dengan regenerasi. Karena menurutnya, jika semua berpaling dari kekhasan seni dan budaya lokal, entah apa jadinya to Kaili nantinya. Bisa jadi hanya tersisa cerita saja. ***
Teks dan Foto: Basri Marzuki